Perkara Ecek-ecek Menyulap Jadi Pidana Berat, Dakwaan JPU Tak Lebih Sebuah Novel Picisan

Pangkalankerinci, Detak Indonesia--Sidang Eksepsi atau Nota Keberatan Atas Dakwaan terhadap MS yang didakwakan pada tanggal 11/9/2023, di mana MS statusnya sudah menjadi terdakwa dan masih ditahan di Rumah Tahanan Polres Pelalawan Pangkalankerinci Riau menurut penasihat hukumnya ditengarai MS korban kriminalisasi oleh Penyidik PPA unit IV Polres Pelalawan.

Antara perkara ecek-ecek menyulap jadi pidana berat dan dakwaan JPU tak lebih sebuah novel picisan, demikian penasihat hukum MS.

MS nama inisial yang sampai saat ini masih mendekam di Rumah Tahanan Polres Pelalawan dari status tersangka sudah menjadi terdakwa.

Pada 18 September 2023 agenda eksepsi. Pada tanggal 4 Penyidik PPA Unit IV acapkali bertindak unprofesional. Menurut Pemohon, pasal-pasal yang dipersangkakan tersebut telah disalahartikan dalam proses penegakan hukum, khususnya dalam hal penanganan perkara tindak pidana pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur/kekerasan seksual yang disangkakan kepada klien Pemohon. Tersangka menceritakan, telah mengajukan permohonan praperadilan atas status tersangkanya dan penahanannya. Namun, Pemohon menganggap ada unsur kesengajaan dari pihak Penyidik PPA unit IV dan JPU agar permohonan praperadilan Pemohon digugurkan.

“Mereka sengaja untuk menggugurkan praperadilan ini, karena untuk menggugurkan dengan alasan bahwa perkara sudah dilimpahkan. Padahal kami sebagai Tim Penasihat Hukum MS mengajukan praperadilan sebelum tersangka klien diperiksa sebagai tersangka sekalipun. Sehingga kami menilai bahwa hal ini telah dilakukan atau melanggar Undang-Undang atau melanggar KUHAP dan SOP Kode Etik Profesi Penyidik itu sendiri,” jelas Marlon Simanjorang selaku kuasa hukum Pemohon pada sidang Praperadilan.

 

Setelah melalui Prapid gugur rangkaian sidang pemeriksaan perkara uji materiil Undang-Undang Nomor 8/1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang Nomor 82  ayat (1) huruf d, Dalam sidang selanjutnya,  Wilson Lambertus Situmorang akan menghadirkan ahli pakar hukum pidana dari Universitas Islam Riau serta Ahli Bahasa. Marlon Simanjorang menyampaikan keahliannya di hadapan Majelis Hakim.

Marlon Simanjorang menyampaikan pendapatnya terkait dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 karena bersifat multitafsir. Marlon Simanjorang membenarkan dalil tersebut. Sebab, kata Marlon Simanjorang, dalam praktiknya memang banyak menimbulkan penafsiran. Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP menyatakan, dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh Pengadilan Negeri sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur.

“Ketentuan ini menurut pendapat saya walaupun sederhana nampaknya, tetapi menimbulkan banyak tafsiran di dalam praktik hukum. Terutama berkenaan dengan penggunaan frasa mulai diperiksa oleh Pengadilan Negeri,” ujar Marlon Simanjorang .

Marlon Simanjorang menjelaskan, banyaknya penafsiran terhadap Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP, maka mengakibatkan munculnya persoalan dalam praktik praperadilan. Misalnya saja bila dihubungkan dengan Pasal 77 KUHAP. Pasal tersebut menentukan bahwa pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus praperadilan. Bila dilihat dari ketentuan Pasal 77 KUHAP tersebut, Marlon Simanjorang  mengatakan dapat diartikan bahwa praperadilan juga menjadi kewenangan Pengadilan Negeri.

“Kalau memang praperadilan juga menjadi kewenangan Pengadilan Negeri, mengapa permohonan praperadilan menjadi gugur ketika perkara mulai diperiksa di Pengadilan Negeri? Bukankah pemeriksaan praperadilan juga pemeriksaan di Pengadilan Negeri? Jadi karena menggunakan nomenklatur mulai diperiksa oleh Pengadilan Negeri ini, sebenarnya seolah-olah pemeriksaan di praperadilan itu bukan pemeriksaan di Pengadilan Negeri,” papar Marlon Simanjorang lagi.

 

Selain itu, ketentuan mengenai gugurnya praperadilan dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP juga akan menjadi multitafsir ketika dihubungkan dengan Pasal 147 KUHAP. Pasal 147 KUHAP menyatakan, setelah Pengadilan Negeri menerima surat pelimpahan perkara dari penuntut umum, ketua mempelajari apakah perkara itu termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya. Sebab, jelas Marlon Simanjorang, kata mempelajari dalam Pasal 147 KUHAP juga memiliki pengertian memeriksa.

“Kata mempelajari dalam pasal ini (pasal 147 KUHAP, red), dalam pengertian yang lebih umum, juga termasuk dalam pengertian memeriksa. Karena ketika ketua pengadilan negeri mempelajari surat dakwaan, pada dasarnya dia memeriksa, apakah dakwaan tersebut termasuk kompetensi relatifnya atau tidak. Nah, artinya, mulai memeriksa oleh ketua pengadilan negeri, juga boleh jadi menjadi makna mulai diperiksa di pengadilan negeri berkenaan dengan gugurnya praperadilan,” papar Marlon Simanjorang.

Setelah mengkaitkan Pasal 82 ayat (1) huruf d dengan beberapa pasal dalam KUHAP, Marlon Simanjorang  menegaskan bahwa ketentuan gugurnya praperadilan dikarenakan perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri adalah multitafsir. Marlon Simanjorangpun memberikan pandangannya, bahwa seharusnya frasa mulai diperiksa oleh pengadilan negeri dalam Pasal Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP ditafsirkan setelah hakim menetapkan hari sidang dan memerintahkan penuntut umum memanggil terdakwa.

“Jadi menurut pendapat saya sekali lagi, Yang Mulia, bahwa jika frasa mulai diperiksa oleh Pengadilan Negeri itu ditafsirkan setelah hakim menetapkan hari sidang dan memerintahkan penuntut umum memanggil terdakwa, maka benarlah pada saat itu seseorang telah menjadi terdakwa dan kemudian secara logis seharusnya permohonannya kemudian masuk menjadi bagian dari permohonan-permohonan yang diajukan di pokok perkaranya, tidak lagi kemudian diputus oleh hakim praperadilan,” jelasnya.

Adapun ketentuan yang diujikan oleh Pemohon yakni Pasal 50 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP yang mengatur hak tersangka agar perkaranya segera dimajukan ke pengadilan dan hak terdakwa agar perkaranya segera diadili oleh pengadilan. Pemohon juga menguji Pasal 82 ayat (1) KUHAP yang mengatur gugurnya permintaan praperadilan dikarenakan perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan.

 

Pada 4 Agustus 2023 pada Agenda Sidang Praperadilan di Pengadilan Negeri Pelalawan dengan Nomor Register 315/Pid-Sus/PN-Pllw/2023, namun Penyidik maupun kuasanya selaku termohon tidak menghadiri dengan dasar bahwa MS sudah P21. Jadi otomatis Praperadilan sudah gugur berdasarkan Putusan.  

Setelah selesai dari PN, keluarga dan PH ingin besuk MS ke tahanan Polres Pelalawan, setelah PH menemui penyidik yang menangani perkara serta meminta untuk salinan BAP maupun BON/Request demi menggali keterangan dari kLien serta upaya-upaya pembelaan saat di perkara Pokok yang akan diagendakan pada 11 September 2023, akan tetapi Penyidik terkesan arogan dengan perkataan bahwa semua dokumen atau berkas perkara sudah dilimpah dan untuk membesuk harus izin dari Jaksa, tidak ada kewenangan Penyidik lagi. Setelah PH mengkonfirmasi Via telepon ke jaksa yang menyanggupi dan selanjutnya setelah mendapat izin dari Jaksa secara lisan via telepon tiba-tiba penyidik meminta harus ada secara tertulis, sehingga keluarga dan PH mengurungkan waktu untuk membesuk pada 5 September 2023 mengikuti sesuai jadwal besuk.

Dalam hal ini penyidik Polres Pelalawan Riau seolah-olah mengangkangi KUHP, KUHAP, PERKAPOLRI semua bisa di sulap saya selaku PH dari MS memberikan apresia dengan 4 jempol yaitu jempol tangan dan kaki untuk Penyidik Polres Pelalawan dengan alasan seperti yang diberitakan sebelumnya bahwa pada tanggal saat Tim Kuasa MS menanyakan ke penyidik bahwa status MS masih tersangka masih menunggu petunjuk jaksa.

Pada 11 September 2023 pada pembacaan sidang Dakwaan, Marlon Simanjorang Penasihat Hukum dari kantor Wilson Lambertus Situmorang & Partners sangat kecewa dengan surat dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum dimana dalam dakwaan Kami tim kuasa menganggap keliru tidak memenuhi syarat materiil tidak berisi secara cermat, jelas lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan atau dakwaan Obscuur Libel, dimana surat dakwaan seharusnya memberikan gambaran secara bulat dan utuh tentang :
1.Tindak pidana yang dilakukan
2.Siapa yang melakukan tindak pidana
3.Dimana tindak pidanan dilakukan 
4.Bilamana tindak pidana itu dilakukan 
5 Bagaimana tindak pidana itu dilakukan 
6 Akibat apa yang ditimbulkan tindak pidana tersebut (delik materil)
7.Apakah yang mendorong terdakwa melakukan tindak pidana tersebut
8.Ketentuan-ketentuan pidana yang di terapkan.

 

Marlon Simanjorang mengatakan dakwaan jaksa juga sangat tidak etis dan mengarah ke pornografi. Bahkan Marlon Simanjorang menilai dakwaan jaksa tak lebih dari sebuah novel picisan.

"Surat dakwaan penuh rekayasa. Terlihat dari dakwaan jelas dibuat-buat. Dan tidak etis pelecehan seksual adalah bentuk pelecehan yang melecehkan hal-hal privasi yang dilecehkan. Contohnya : pacaran, ciuman, pegangan tangan, berdua-an tanpa pengawasan, pemaksaan, pemerkosaan," jelas Marlon.

Pelecehan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk tindakan yang dilakukan orang dewasa atau orang yang lebih tua, yang menggunakan anak untuk memuaskan kebutuhan seksualnya. Bentuk-bentuk pelecehan seksual sebenarnya beragam. Seperti  meminta atau menekan seorang anak untuk melakukan aktivitas seksual, memberikan paparan yang tidak senonoh dari alat kelamin anak, menampilkan pornografi untuk anak, melakukan hubungan seksual dengan anak, kontak fisik dengan alat kelamin anak, dan melihat alat kelamin anak tanpa kontak fisik di luar tindakan medis. Sementara itu, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pelaku seksual adalah orang yang suka  merendahkan atau meremehkan orang lain berkenaan dengan seks (jenis kelamin) atau berkenaan dengan perkara persetubuhan antara laki-laki dan perempuan.

Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak belum mendapat perlindungan atas keamanan dalam kehidupannya sehari-hari. Perlindungan hukum menurut Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Anak di antaranya mengenai hak untuk mendapatkan perlindungan khusus jika anak mengalami konflik dengan hukum, hak untuk mendapatkan perlindungan khusus jika anak mengalami eksploitasi sebagai pekerja anak, hak untuk mendapatkan perlindungan khusus jika anak mengalami eksploitasi dalam penyalahgunaan obat-obatan, hak untuk mendapatkan perlindungan hukum jika anak mengalami eksploitasi seksual dan penyalahgunaan seksual, hak untuk mendapatkan perlindungan khusus dari penculikan, penjualan dan perdagangan anak.

Berkaitan dengan kasus pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur, dalam hal tindakan pencabulan sesama jenis kelamin yang terjadi seperti kasus di atas, diatur dalam Pasal 292 KUHP yang berbunyi:

 

Orang yang cukup umur, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sama kelamin, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. Undang-Undang tersendiri mengenai perlindungan terhadap anak, yaitu Undang-Undang Nomor 23/2004 tentang Perlindungan Anak. Dalam Pasal 81 dan 82 Undang-Undang tentang Perlindungan Anak ini diatur bahwa pelaku pelecehan seksual terhadap anak dipidana penjara maksimal 15 tahun.

Pelecehan fisik termasuk sentuhan yang tidak diinginkan mengarah ke perbuatan seksual seperti mencium, menepuk, mencubit, melirik atau menatap penuh nafsu. Masturbasi di hadapan anak di bawah umur atau memaksa anak di bawah umur untuk masturbasi. Percakapan cabul, panggilan telepon, pesan teks, atau interaksi digital lainnya. Memproduksi, memiliki, atau membagikan gambar atau film porno anak-anak, perdagangan seks.

Sehingga kami melakukan eksepsi semoga dengan eksepsi Hakim yang memeriksa dan mengadili dimana JPU masih menggunakan UU 82  ayat 1 Tahun & No.23/ 2002 tentang Perlindungan Anak, padahal UU itu sudah berubah dengan diterbitkannya UU No.35/2014.

MS yang jadi terdakwa kasus tuduhan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur menjalani sidang dengan agenda tanggapan jaksa atas eksepsi yang diajukan kepada terdakwa. Diwakili oleh kuasa hukumnya, tim Kuasa Hukum dari MS memberikan tanggapan mengenai sidang yang berlaku secara tertutup tersebut.

Menurut kuasa hukum MS Marlon Simanjorang, bahwa dakwaan yang diajukan oleh penutut umum salah menggunakan dasar hukum. Pasalnya, Undang-Undang yang digunakan oleh penuntut umum adalah UU Nomor 23/ 2002 tentang Perlindungan Anak. Padahal, Pemerintah sudah mengubah UU tersebut menjadi UU Nomor 35/2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Menurutnya, seharusnya yang didakwakan ialah Undang-Undang yang baru karena ada perubahan di unsur-unsur pasalnya.

 

“Dari segi hukum acara itu sudah cacat.  Jadi, UU yang sudah didakwaan secara nggak langsung batal demi hukum,” tambahnya.

Sebagai informasi, Bahwa MS di dakwakan dengan pasal 82 Undang-Undang Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP untuk dakwaan primiar dan Pasal 80 ayat (1) UU Perlindungan Anak Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Pasal 82 UU Perlindungan Anak berbunyi: “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).”

Sedangkan, Pasal 80 ayat (1) menyatakan, “Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).”

Sedangkan, bunyi Pasal 82 UU No.35/2014 tentang Perubahan UU No.23/2002 tentang Perlindungan Anak yaitu “(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).”

 

Kemudian, Pasal 80 ayat (1) UU No.35/ 2014 tentang Perubahan UU No.23/ 2002 tentang Perlindungan anak menyatakan, “(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).”

Marlon Simanjorang juga menjelaskan bahwa dia telah meminta pada majelis hakim untuk mempertimbangkan dakwaan yang tidak cermat, tidak jelas, dan keliru tersebut.

“Intinya pada hari ini kami meminta pada majelis untuk dipertimbangkan, karena dakwaan itu dibuat dengan Undang-Undang yang sudah diubah, dan tidak berlaku,” ujar Marlon Simanjorang

"Kami berharap di sidang yang akan dilanjutkan pada Selasa (25/9/23) dengan Tanggapan JPU oleh karena itu kami optimis dengan pertimbangan yang sangat bijaksana akan mengabulkan eksepsi kami,” tambahnya.

Ditemui usai sidang, 11 September 2023 Penuntut Umum enggan berkomentar seputar penilaian pengacara terdakwa berupa tindakan diskriminatif atau keberpihakan dan tindakan pengamanan serta persekongkolan jahat yang dilakukan oleh oknum anggota Penyidik PPA Unit IV Polres Pelalawan sehingga dianggap merugikan hak-hak kliennya sehingga pihak Penasihat Hukum siap membantu proses peradilan terdakwa. WLS mengatakan sudah menyiapkan saksi-saksi ahli.

"Termasuk sejumlah saksi yang mengetahui persis kronologis kejadian. Jadi kita tunggu saja sidang berikutnya," kata Marlon. (di)


Baca Juga