Nasib Merana Orang Sakai, Hutan Adat Diserobot

Pekanbaru, Detak Indonesia--Pemerintah tidak pernah melihat peta, Karena dahulunya lokasi yang dilalui pembangunan tol di areal 2.200 hektare milik suku pedalaman (Suku Sakai) pada tahun 2011 masih kawasan hutan konversi. 

"Malah tiba-tiba tim terpadu melepaskan kawasan tersebut dari HPK menjadi HPL tanpa pelepasan dari KLHK. Lahan 2.200 hektare itu malah keluar HGU nya, ini tidak sesuai dengan prosedural," ujar Ir Ganda Mora, selaku pendamping Suku Sakai membuka perbincangannya dengan Detak Indonesia.co.id, Rabu (18/3/2020).

HGU seluas 2.200 hektare yang dimiliki PT Murini Wood Indah Industry (MWII) yang sudah ditanami kelapa sawit perusahaan itu diduga tidak prosedural atau tidak melalui pelapasan kawasan hutan dari MenLHK.

"Atas dugaan persekongkolan itu kita akan laporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta," ungkapnya.

Bagindo Raja Puyan, Kepala Bathin Batuoh anak suku Orang Rimba, Bengkalis, Riau itu memberi gambaran jika sejatinya nasib Orang Rimba hingga kini masih terusir dari tanah mereka. 

"Akhirnya anak rimba terus tergusur," kata Bagindo menjelaskan.

Hutan Adat, bagi Orang suku pedalaman yang tinggal di kawasan itu memang rumah bagi suku tersebut. Mereka hidup berkelompok dengan sesama anggotanya dengan memanfaatkan kekayaan alam. Orang pedalaman hidup dalam keharmonisan tanpa bantuan teknologi.

Sejak 1946, orang Suku Sakai memang telah ditetapkan oleh Pemerintah RI bahwa hutan  untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, suku ini meramu, menanam dan berburu. Namun keharmonisan itu terusik ketika peran Pemerintah menggunakan sebagian kawasan hutan adat menjadi pembangunan jalan tol yang di peruntukkan program pemerataan penduduk.

Selain itu, pemerintah juga dengan mudah memberikan izin bagi para pengusaha untuk membuka lahan di daerah dipercayai merupakan tempat tinggal Orang Sakai. 

"Jadi selalu mengizinkan pengusaha," ujar Datuk Puyan.

Datuk Puyan mengaku, berkurangnya lahan untuk tempat tinggal bagi orang pedalaman membuat sebagian anggota dari Suku Sakai meninggalkan hutan dan tinggal tidak menetap. Sebagian dari mereka juga bisa ditemui, di sepanjang jalan lintas di Bengkalis hingga ke Siak. 

Namun sayang, keputusan untuk keluar dari hutan dan berbaur dengan masyarakat lainnya rupanya juga tidak membuat hidup orang Suku Sakai tenang. Kadang kala ada pertikaian karena kesalahpahaman dengan masyarakat pendatang. Bukan tanpa sebab, pertikaian itu diyakini mereka yakini masih memiliki kepercayaan jika tanah digunakan oleh para pendatang merupakan milik nenek moyang mereka.

Sebagai contoh kasus konflik yang terjadi ialah saat Suku Sakai dengan PT Murini Wood Indah Industry (MWII). Warga pedalaman ini satu persatu mulai 'ambruk' karena merasa tak memiliki lahan untuk perladangan sebagi mencari nafkah. 

"Kejadian seperti ini memang acap kali terjadi, bukan tanpa sebab, pemahaman tanah itu milik leluhur mereka memang menjadi kepercayaan bagi orang Suku Sakai," kata Ganda Mora dari Barisan Relawan Jokowi Presiden (BARA-JP).

Ini semua memang bermuara pada perusahaan MWII. Jauh sebelum orang Suku Sakai mulai resah dengan tempat tinggalnya, mereka hidup harmoni di dalam hutan adat. Namun kini, nasib mereka terlunta-lunta di atas tanah dipercaya milik nenek moyang nya. Bermula sejak 15 tahun lalu ketika MWII membuka lahan. Tahun itu juga menjadi titik awal penebangan hutan adat besar-besaran.

"Kini ada 10.000 hektare berhasil digarap menjadi kebun sawit, tanpa ada ganti rugi mengikutkan suku pedalaman sebagai mitra," sebut Ganda. 

Tahun 2016 menjadi langkah bagi pemerintah untuk membangun jalan tol Pekanbaru-Dumai dan Duri dan lahan perkebunan kelapa sawit yang berdiri di hutan adat ikut imbasnya. Namun ketika ditetapkan menjadi pembangunan jalan tol, pemerintah justeru kemudian menetapkan MWII mendapat ganti rugi beberapa zona atau 30 bidang tanah, tepatnya di Desa Pamesi.

"Hal inilah kemudian menjadi ikhwal konflik Orang Suku Sakai. Apalagi zona ditentukan Pemerintah itu tidak mewakili keinginan Orang Sakai. Tempat orang Suku Pedalaman tinggal dibagi-bagi dengan perusahaan kelapa sawit. Sumber kehidupan, makanan, obat-obatan dan tumbuhan bagi orang Sakai mendadak punah. Akibatnya orang Sakai tidak bisa hidup layak," ungkap Ganda.

Menjadi pukulan telak buat Pemerintah, selain mereka saat ini kehilangan mata pencaharian orang Sakai diperkirakan 200 jiwa dikhawatirkan busung lapar. Sebanyak 500 kepala keluarga  terimbas kemiskinan. Penyebabnya ialah karena lahan hidup bagi suku itu terus berkurang bahkan hilang. 

"Kita menghawatirkan terkhusus anak-anak," ujar Ganda.

Menurut Bagindo Raja Puyan,  masyarakat sekitar tidak pernah dibantu secara sosial, baik itu fasilitas umum, bantuan beasiswa bagi anak tak mampu, bantuan kesejahteraan masyarakat tempatan tidak pernah diberikan kepada warga Sakai itu, sehingga Corporate Codial Responsblty (CSR ) tidak pernah mereka terima.

"Sehingga dipertanyakan kemana CSR mereka yang seharusnya diserahkan kepada kemenakan persukuan Batuoh Sakai, sebagai bentuk perhatian perusahaan, jadi kita sangat miris melihat masyarakat tersebut," jelas Ir Ganda Mora MSi yang mengaku akan mempertanyakan terkait CSR tersebut kepada perusahaan ataupun dengan pemerintah setempat.

Pemerintah melalui Menteri Agraria dan Tata Ruang, Ferry Mursyidan Baldan memang telah mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 9/2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat.

Dalam penjelasannya pada media, Ferry menegaskan jika perusahaan sawit tidak dapat mengusir sembarangan suku anak dalam. Jika dilanggar, Ferry bakal mencabut izin mereka. 

"Kalau tetap dilakukan, kita akan mencabut tegas izin mereka," ujar Ferry. (*/dic)


Baca Juga