187 Perusahaan Perkebunan Belum Penuhi Kewajiban Bangun Kebun Masyarakat

Jakarta, Detak Indonesia--Memasuki tahun keempat, tata kelola perkebunan kelapa sawit Indonesia cenderung jalan di tempat. Berbagai regulasi yang sudah dibentuk minim implementasi karena terkendala berbagai masalah. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pun mencium banyak masalah sehingga berkesimpulan bahwa pengelolaan perkebunan kelapa sawit tidak sesuai dengan kriteria. Lantas siapa yang diuntungkan dengan carut-marut tata kelola perkebunan kelapa sawit?

Inda Fatinaware dari Sawit Watch seperti dilansir law-justice.co Rabu (16/12/2020) menilai, implementasi atas regulasi yang sudah disusun terhambat beberapa persoalan. Pertama, sosialisasi kebijakan yang minim kepada pemerintah kabupaten/kota sehingga terjadi disinkronisasi pola kerja-kerja pemerintah pusat dan daerah. Selain itu, belum ada peta jalan atau dokumen rujukan untuk mengimplementasikan Inpres moratorium sawit.

"Pemerintah belum memiliki arah yang jelas soal peningkatan produktivitas sawit. Belum memiliki berapa target atau standar produktivitas sawit yang akan dituju serta bagaimana langkah-langkah yang harus ditempuh untuk mencapai target tersebut," kata Inda.

Berbagai persoalan dalam tata kelola perusahaan sawit tidak luput dari audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dalam IHPS II/2019, BPK menemukan sembilan masalah dalam tata kelola perkebunan kelapa sawit. Satu masalah pengawasan internal dan delapan masalah ketidakpatuhan terhadap ketentuan Peraturan Perundang-undangan. BPK menyimpulkan: pengelolaan perkebunan kelapa sawit tidak sesuai dengan kriteria.

Dalam laporan BPK, disebutkan bahwa ada 187 perusahaan perkebunan yang belum memenuhi kewajiban pembangunan kebun masyarakat, pabrik pengolahan, dan 20 persen pembangunan kebun inti. Hal itu mengakibatkan tujuan penyelenggaraan perkebunan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat berpotensi tidak tercapai.

"BPK merekomendasikan kepada Menteri Pertanian agar memerintahkan Direktur Jenderal Perkebunan untuk mengenakan kewajiban kompensasi tunai kepada perusahaan yang tidak dapat memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar paling rendah 20 persen dari total luas areal kebun yang diusahakan, di mana penggunaannya untuk pengembangan kebun sawit," tulis BPK dalam laporan tersebut. 

Selain itu, terdapat 584 perusahaan yang belum memenuhi persyaratan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) System. Hal ini mengakibatkan berkurangnya daya saing komoditas sawit nasional atas usaha perkebunan yang belum memiliki sertifikat ISPO. Sertifikat ISPO yang dimiliki perusahaan juga dianggap belum mencerminkan asas kedaulatan, kemandirian, kebermanfaatan, keberlanjutan, keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan, efisiensi berkeadilan, kearifan lokal, dan kelestarian fungsi lingkungan dari perusahaan perkebunan.

BPK juga menemukan adanya 222 perusahaan perkebunan yang memiliki izin tumpang tindih. Hal tersebut mengakibatkan potensi sengketa kewilayahan terhadap tumpang tindih antar izin. Sawit Watch mencatat, hingga saat ini setidaknya terdapat 1053 konflik di perkebunan kelapa sawit. Karena itu, BPK minta Menteri Pertanian untuk berkoordinasi dengan Menteri LHK, Menteri ESDM, Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, dan pemerintah daerah terkait penyelesaian masalah tumpang tindih antar izin usaha perkebunan kelapa sawit.(*/di) 


Baca Juga