Mengenang 20 Tahun Gempa Tsunami Aceh 26 Desember 2004

Kamis, 26 Desember 2024 - 12:54:39 WIB

Kenangan peristiwa bencana gempa dahsyat 9,3 SR Banda Aceh disusul tsunami 26 Desember 2004. Kini 26 Desember 2024 sudah 20 tahun Aceh kembali menggeliat. (azf)

Tanggal 31 Desember 2004 sekira pukul 23.00 WIB tengah malam, rombongan kami sudah sampai di Kota Banda Aceh, pasca gempa tsunami 9,3 scala Richter mengguncang Aceh 26 Desember 2004 sekira pukul 08.00 WIB.

Artinya, lima hari setelah kejadian dahsyat itu, rombongan kami telah tiba di kota yang hancur lebur bak kiamat Banda Aceh. Ngeri, begitu sampai tengah malam suasana Kota Banda Aceh gelap gulita. Menurut catatan PBB korban meninggal dunia 220.000 jiwa dan bencana itu dirasakan oleh 15 negara.

Kami berhenti sejenak di atas jembatan, memandangi kota yang gelap gulita. Hanya nampak setitik cahaya lampu dari dalam Masjid Raya Baitur Rahman Banda Aceh. Rupanya cahaya itu berasal dari mesin genset yang dibawa truk PLN dari Kota Padang yang kami ketemu ngopi di Kota Langsa pada siang sebelumnya. Saya bertanya dijawab dari PLN Kota Padang bawa mesin genset. Kami sempat ngopi sejenak di pinggiran Kota Langsa Aceh di pesisir timur Banda Aceh yang tak terdampak tsunami.

Payung Masjid Raya Baitur Rahman Banda Aceh yang kuat dan kukuh.

Kawan-kawan ngopi steng (setengah gelas) dan ada satu gelas. Dulu satu gelas kopi di Langsa dibandrol Rp750. Tujuan kami ke Banda Aceh lima hari setelah bencana gempa tsunami adalah membawa bantuan 10 truk sembako untuk korban bencana gempa tsunami Aceh. Bantuan itu sumbangan dari masyarakat Riau. Lima truk dari Korem 031/ Wira Bima Pekanbaru, dan lima truk dikoordinir Riau Pos Grup sumbangan masyarakat Riau.

Di Langsa siang hari sebelum sampai ke Banda Aceh truk bantuan yang kami bawa mengisi BBM di SPBU Langsa. Setelah terisi bergerak jalan lagi. Sampai di Idirayeuk Aceh Timur senjanya kami turunkan bantuan. Rupanya kawasan Idirayeuk Aceh Timur ini juga banyak pengungsi ditampung ditenda-tenda pengunsian. Walaupun sumber gempa tsunami dari arah barat, namun bagian timur Aceh juga terdampak.

PLTD yang dilempar ombak tsunami dari pantai ke daratan kini jadi museum.

 

Di Posko Idirayeuk Aceh Timur di kegelapan senja ini kening saya membentur laras meriam Tank Baja milik TNI. Rupanya kawasan ini menjadi camp TNI karena saat itu GAM masih ada. Seorang personel TNI dengan memegang senjata api Laras panjang menceritakan ke Saya bahwa di Langsa siang tadi saat 10 truk bantuan mengisi BBM di SPBU, terjadi baku tembak antara personel TNI dan GAM di kaki bukit yang mau turun ke SPBU tersebut.

Memang kami lihat di sepanjang perjalanan di pinggir jalan dari Kota Langsa sampai ke Banda Aceh, terdapat tenda-tenda posko TNI dan Brimob di tanah di sebelah jalan lintas Sumatera tersebut. Bahkan Saya melihat personel TNI naik kendaraan panser hilir mudik dengan rantai peluru penuh menyilang di dadanya dan memakai topi baja anti peluru. Kamipun ngeri-ngeri sedap. Rupanya keberangkatan 10 truk bantuan kemanusiaan dari sumbangan masyarakat Riau ini sudah dikoordinasikan oleh aparat keamanan dari Riau-Medan-Aceh sehingga kami dikawal penuh.

Tanggal 31 Desember 2004 tengah malam itu kami kelaparan belum makan karena belum sempat beli nasi bungkus di kawasan Seulawah yang aman dari tsunami, kami nyelonong langsung masuk kota Banda Aceh yang porakporanda. Sempat juga di antara rombongan perang mulut agar beli nasi dulu sebelum ke lokasi pertempuran bencana. Tapi diabaikan. Untung saja ada posko di ketinggian daratan Kota Banda Aceh yang masih buka. Kami ke posko ini dan dapat makan nasi campur mie rebus. Syukurlah.

Tahun baru 1 Januari 2005 pada pagi hari kami memasuki Kota Banda Aceh
Ngeri kayak 'kiamat' pemandangan di Masjid Baitur Rahman tak bisa dilewati. Sejumlah lumpur, mayat, kayu, dan sebagainya bergelimpangan di jalan. Di dalam parit juga nampak mayat dengan gigi dan tengkorak kepala menyeringai. Di jalan nampak jenazah wanita muda menguning dan mulai membusuk.

Kami tak mengira lumpur yang kami pijak kami anggap biasa-biasa saja, masuklah kami ke dalam mobil rombongan kami (Avanza) yang berisi enam orang rombongan. Setelah kering di dalam mobil bau bangkai, rupanya lumpur yang mengering di telapak sepatu kami bau bangkai. Kamipun cari kanal air yang mengalir jernih dan mencuci telapak sepatu kami agar hilang bau bangkainya. Kami ada yang ganti pakai sendal, sepatu yang sudah dibersihkan tadi disimpan dalam plastik asoi.

 

Siapa saja yang membantu mengangkat mayat-mayat di lapangan? Kami melihat banyak personel TNI pakai baju loreng-loreng. Kemudian kaum pria memakai rompi coklat di punggungnya ada tulisan warna putih PKS.

Tugas kami hanya membagikan bantuan kemanusiaan 10 truk Fuso untuk masyarakat Aceh korban gempa-tsunami 26 Desember 2004.

Kisah Makam Syekh Kuala Aceh

Ada kisah unik tentang makam Syeikh Abdul Rauf As-Singkili pasca gempa-tsunami tersebut di Desa Deyah Raya, Kecamatan Kuala. Jaraknya sekitar 15 kilometer dari Kota Banda Aceh. Makamnya tidak hancur, sementara yang di sekitarnya hancur dihantam gempa-tsunami dahsyat itu.

Syekh Abdul Rauf As-Singkili adalah seorang ulama tersohor yang punya peran penting dalam penyebaran ajaran Islam di Sumatera khususnya, dan Nusantara pada umumnya. Di Aceh, Syiah Abdul Rauf As-Singkili memang lebih terkenal dengan nama Syiah Kuala. Istilah Syiah sama maknanya dengan Syekh. 

Perjalanan selama setengah jam dari Kota Banda Aceh, kita bisa tiba di komplek makam Syiah Kuala. Di sebelah kanan dari pintu masuk menuju makam, nampak hamparan laut. Letak makam Syiah Kuala sekitar 200 meter dari laut.

Makam Syiah Kuala Aceh.

 

Ada Tengku Abdul Wahid, generasi ketujuh Syiah Kuala. Tengku Abdul Wahid kepada tamu-tamu yang datang biasanya menjelaskan sejarah dan riwayat Syekh Abdul Rauf As-Singkili. 

Menurutnya Syiah Kuala memiliki nama panjang Syekh Abdul Rauf bin Ali Al-Fansuri As-Singkili. Ada pun Kuala, mengacu pada nama kampung tempat Syekh Abdul-Rauf tinggal semasa hidupnya hingga dimakamkan.

Syekh Abdul Rauf As-Singkili adalah seorang ulama besar Aceh. Lahir pada  1001 Hijriah atau 1591 Masehi. Ia wafat pada Senin 22 Syawal 1693 M.

Syekh Abdul Rauf mendirikan dayah-dayah yang digunakan sebagai tempat mengajarkan ajaran Islam. Kitab-kitab karya Syekh Kuala, di mana Syekh Kuala dikenal menulis banyak kitab seperti Mir'at al-Thullab fi Tasyil Mawa'iz al-Badi'rifat al-Ahkam al-Syar'iyyah li Malik al-Wahhab. Kemudian, Tarjuman al-Mustafid yang merupakan naskah pertama berbahasa Melayu yang lengkap dari tafsir Alquran. 

Selain itu ada juga kitab Mawa'iz al-Badi', Tanbih al-Masyi, Kifayat al-Muhtajin ila Masyrah al-Muwahhidin al-Qailin bi Wahdatil Wujud, dan kitab Daqaiq al-Hurf.

 

Sayangnya, ketika tsunami melanda Aceh 2004, banyak sekali kitab-kitab karya Syeikh Abdul Rauf yang tersimpan di tempat itu musnah disapu tsunami. Namun makamnya selamat dari tsunami.

Menurut Tengku Abdul Wahid, dahulu jarak makam ke bibir pantai sekitar 1 kilometer. Akibat musibah tsunami yang melanda Aceh 2004, menyebabkan tanah-tanah di sekitar makam tergerus. Hal itu menjadikan jarak makam ke pinggir pantai makin dekat menjadi sekitar 200 meter.

Ajaibnya, pada kejadian tsunami tersebut, tidak menyebabkan pusara Syeikh Abdul Rauf hanyut. Padahal makam di sekitarnya mengalami rusak berat. Pengunjung merasakan ada keanehan atau semacam mukjizat barangkali.

Tengku Abdul Wahid kepada pengunjung, peziarah menceritakan tamu-tamu yang datang ke makam Syekh Kuala tidak hanya dari Indonesia, tapi juga ada warga Malaysia dan Brunei Darussalam.

Selain makam tersebut, Museum Tsunami Aceh di Kota Banda Aceh juga banyak dikunjungi termasuk wisatawan dari Malaysia. Juga PLTD yang dilempar ombak tsunami dari pinggir pantai ke daratan menimpa rumah warga kini dijadikan museum peristiwa tsunami dahsyat tersebut. (azf)