Dana Sawit untuk Perusahaan Besar Terus Disorot

Sabtu, 31 Maret 2018 - 19:12:06 WIB

Foto Ist

Jakarta, Detak Indonesia--Selama ini pengembangan perkebunan sawit selalu mengklaim “untuk kesejahteraan petani”. Apa betul petani sawit sudah sejahtera?

Sumber dari Serikat Petani Kelapa Sawit Indonesia (SPKI) yang tak menyebutkan namanya dalam siaran persnya merilis bahwa dalam UU 39/2014 tentang Perkebunan disebut kalau ada dana perkebunan dari pungutan ekspor sawit yang bisa disalurkan ke petani untuk modal, promosi, atau pengembangan SDM dan teknologi pertanian.

Tapi nyatanya ada Peraturan Pemerintah (PP) 24/2016 yamg lebih rendah dari UU Perkebunan itu yakni tentang Penghimpunan Dana Perkebunan yang malah digunakan untuk memberikan subsidi kepada perusahaan sawit besar.

Pada 2016, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) kumpulkan pungutan dana Rp11,7 trilyun, 90 persen digunakan untuk subsidi ke grup besar perusahaan-perusahaan produsen kelapa sawit. Sementara 10 persen sisanya dialokasikan untuk kegiatan penelitian, petani dan promosi kelapa sawit.  

Baru-baru ini justru lima konglomerat/perusahaan sawit skala besar yang dapat subsidi, bukan petani!

Apanya yang “demi kesejahteraan petani”?

Secara hukum, PP 24/2016 itu sudah menyalahi tujuan dari UU Pekebunan Nomor UU 39/2014. Akibat dari PP ini, sekitar 5 juta petani sawit Indonesia tertinggal jauh dalam SDM, pendanaan, dan teknologi.

Saking sulitnya petani mengakses dana BPDP, banyak petani yang tidak bisa meremajakan kebun sawitnya, gunakan bibit tidak bermutu alias murah, dan replanting ala kadarnya. Karena tidak ada modal, ada juga yang bersihkan lahannya dengan membakar.

Karena petani menanam sawit ‘asal’ saja, maka produktivitas kebun sawit pun rendah, dan otomatis pendapatan juga rendah. Akibatnya petani tetap miskin dan banyak anak-anak petani yang terancam putus sekolah.

Katanya pemerintah ingin tingkatkan kesejahteraan petani dengan cara meningkatkan produktivitas, tapi kenapa justru kebijakan yang dibuat, tidak berpihak kepada petani?

Kalaupun petani bisa mengakses dana BPDP, dana ini tidak bisa langsung sampai ke petani, tapi harus disetor ke perusahaan dan selanjutnya perusahaan yang mengelola. Nihilnya konsistensi Peraturan Pemerintah ini, justru mematikan ekonomi rakyat dari sektor sawit.

Jadi di mana klaim-klaim dana sawit untuk sejahterakan petani?

Demi petani kita, keadaan ini harus berubah. Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) sudah ajukan uji materi ke Mahkamah Agung (MA). Mari bersama-sama desak MA agar kabulkan Uji Materi PP 24/2016 yang sudah salah jalan dan sangat merugikan para petani.

Badan Pekerja Nasional (BPN) Indonesian Corruption Investigation (ICI) Darmawi SE menyayangkan sikap pemerintah yang telah menyalurkan uang perkebunan itu kepada lima perusahaan sawit raksasa terdiri dari Wilmar Group, Darmex Agro Group, Musim Mas, First Resources, dan Louis Dreyfus Company (LDC).  

"Perusahaan sawit berskala besar mendapatkan subsidi dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dengan total mencapai Rp7,5 triliun sepanjang Januari - September 2017," kata Darmawi di Pekanbaru, Riau, Sabtu (31/3/2018).

"Informasinya Wilmar Group mendapatkan nilai subsidi terbesar, yaitu Rp4,16 triliun. Setoran yang diberikan Wilmar Group kecil sekali hanya senilai Rp1,32 triliun," kata Darmawi.

Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)  sejak 2016 sudah menemukan bahwa penggunaan dana yang berlebihan bagi perusahaan biodiesel bisa menimbulkan ketimpangan dalam pengembangan usaha perkebunan sawit. 

"Kami minta penyidik KPK mengusut penikmat dana biodesel ini," kata Darmawi. 

Nilai subsidi untuk perusahaan sawit lainnya adalah Darmex Agro Group (Rp915 miliar) dengan setoran juga kecil sekali yak i Rp27,58 miliar namun dapat kucuran dana besar,  Musim Mas (Rp1,54 triliun) dengan setoran Rp1,11 triliun, First Resources (Rp479 miliar) dengan setoran cuma Rp86,95 miliar, dan LDC (Rp410 miliar) sebesar setorannya hanya Rp100,30 miliar.

Ada terdapat selisih nilai yang relatif besar untuk para konglomerat sawit tersebut, sebut Darmawi. Ini terdiri dari Rp2,84 triliun (Wilmar Group), Darmex (Rp887,64 miliar), Musim Mas (Rp421,56 miliar), First Resources (Rp392,61 miliar), dan LDC (Rp309,83 miliar).

Menurut Darmawi, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2016 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit yang diteken oleh Presiden Jokowi itu, diatur tentang penggunaan dana tersebut. 

Dalam Pasal 11 ayat (1) dinyatakan dana yang dihimpun adalah untuk pengembangan sumber daya manusia; penelitian dan pengembangan perkebunan sawit; promosi perkebunan kelapa sawit; peremajaan tanaman perkebunan; serta prasarana perkebunan sawit.

Sedangkan pada ayat (2) dijelaskan bahwa penggunaan dana itu juga dipakai untuk kebutuhan pangan, hilirisasi industri dan pemanfaatan bahan bakar nabati jenis biodiesel. Ayat selanjutnya menyatakan BPDPKS dapat menentukan prioritas penggunaan dana berdasarkan program pemerintah dan kebijakan Komite Pengarah.

BPDPKS sendiri menyatakan penggunaan dana terbesar masih dialokasikan untuk biodiesel, yakni mencapai 89 persen. Sedangkan untuk peremajaan sawit, pengembangan SDM hingga perencanaan-pengelolaan masing-masing hanya satu persen.

BPDPKS sendiri dibentuk dalam wujud Badan Layanan Umum sejak 11 Juni 2015 di bawah kendali Kementerian Keuangan. Badan tersebut didirikan untuk mendukung program pengembangan kelapa sawit berkelanjutan.

Sebenarnya, KPK telah menemukan bahwa penggunaan dana yang berlebihan bagi perusahaan biodiesel bisa menimbulkan ketimpangan dalam pengembangan usaha perkebunan sawit, terang Darmawi. 

Sebelumnya, Dono Boestami, Direktur Utama BPDPKS, membantah bahwa dana yang diterima sejumlah perusahaan sawit adalah subisidi. Ia menuturkan, yang penting diperhatikan adalah siapa penikmat biodiesel. 

“Yaitu masyarakat juga karena biodiesel dibeli oleh PLN dari Pertamina dan PT AKR (Corporindo Tbk),” katanya di depan beberapa media.

Riset Kemitraan pada tahun 2017 lalu menyatakan, Orde Baru mendorong pertumbuhan perkebunan skala besar sejak 1970-an dan didukung pendanaan Bank Dunia. Hal itu bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara dari ekspor dan mendorong diversifikasi ekonomi yang saat itu bergantung dengan minyak bumi.

Investasi pun ditujukan untuk perusahaan perkebunan negara atau PTPN dengan komoditas pertanian yang beragam. Namun, fokus investasi juga akhirnya melibatkan swasta karena meningkatnya permintaan minyak sawit dunia dan untuk memenuhi kebutuhan domestik.

“Dari 1968 hingga 1994, CPO yang dihasilkan umumnya dari perkebunan sawit negara, namun setelah 1990-an ada perubahan kebijakan yaitu mendorong mekanisme pasar dalam investasi perkebunan,” demikian riset tersebut.

Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia MP Tumanggor juga menampik kabar tersebut di depan wartawan. Menurutnya, subsidi yang didapat tetap berdasarkan jumlah penjualan produk turunan minyak sawit yang digunakan sebagai campuran solar (fatty acid methyl este/FAME) ke PT Pertamina (Persero). 

“Wilmar dapat bayaran sejumlah FAME yang dijual ke BPDP. Bahkan bisa terjadi nilai dana pungutan yang kami bayarkan ke BPDP lebih besar dari dana yang kami dapatkan dari penjualan Fame ke Pertamina,” ujarnya. 

Ia melihat, kondisi lebih besarnya subsidi dari BPDP ke perusahaan dibandingkan dengan jumlah pungutan ekspor yang dibayarkan perusahaan memang bisa terjadi pada perusahaan lain. 

“Harus bisa bedakan perusahaan eksportir CPO dan turunannya dengan perusahaan produsen biodiesel,” katanya. 

Sebagai eksportir, sebutnya, bisa saja setoran yang diberikan perusahaan lebih besar dibandingkan subsidi atas FAME yang dijual. Sebaliknya, sebagai produsen biodiesel bisa saja jumlah setoran lebih sedikit dari subsidi yang diterima. 

Namun, secara akumulasi tidak membuat jumlah subsidi yang diberikan BPDP lebih tinggi dibandingkan pungutan ekspor yang didapat. 

“Kalau begitu berarti defisit dong uang BPDP,” imbuhnya.(*/di)