Demo Papua Merdeka Nyaris Bentrok !

Kamis, 02 Agustus 2018 - 16:34:42 WIB

Aksi unjuk rasa Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) di depan Istana Presiden Jalan Medan Merdeka Barat Jakarta, Kamis (2/8/2018) menyuarakan Papua Merdeka mendapat perlawanan dari kelompok Relawan NKRI Harga Mati.(Aznil Fajri/Detak Indonesia.co.id)

Jakarta, Detak Indonesia--Aksi demo di depan Istana Merdeka Jalan Medan Merdeka Barat Jakarta oleh kelompok Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) nyaris bentrok dengan kelompok Relawan NKRI Harga Mati, Kamis (2/8/2018).

Polisi melakukan barikade pagar betis memisahkan kedua kubu, terutama kubu Relawan NKRI Harga Mati yang kaelihatan sudah a mau menyerang yang makin lama makin mendekat ke kelompok AMP yang sedang cuap-cuap dengan pengeras suara dan membentang spanduk.

Kelompok Relawan NKRI Harga Mati ini awalnya berdiri jauh dari kelompok AMP sekira jaraknya sekitar 30 meter. Lama kelamaan makin mendekat hanya sekitar 3 meter. Polisi yang melihat kondisi rawan bentrok ini segera memasang pagar betis memisahkan kedua kubu. Kubu Relawan NKRI Harga Mati ini menuding kelompok demonstran AMP pro Papua Merdeka ini yang berjumlah sekitar 20 orang sebagai provokator.

Polisi sempat berdialog dengan kelompok AMP Pro Papua Merdeka ini. Massa AMP ini awalnya nampak berkumpul di Tugu Patung Kuda depan Gedung Kementerian Pariwisata RI Jalan Merdeka Barat ujung. Lalu mereka berjalan kaki ke depan Istana Presiden.

Kelompok Relawan NKRI Harga Mati mencoba menyerang kelompok demonstran AMP yang menyuarakan Papua Merdeka dilerai Polisi

Dalam aksi unjuk rasa dari Fri - West Papua bersama AMP KK Jakarta di depan Istana Negara terkait dengan PEPERA 1969 menyatakan tidak Demokratis.

Sebelumnya 1 Agustus 2018 pukul 07.00 WIB telah diperoleh Informasi dari jaring tertutup terkait dengan rencana aksi unjuk rasa dari Fri - West Papua bersama AMP KK Jakarta di depan Istana Negara terkait dengan PEPERA 1969 yang menyatakan tidak Demokratis tersebut.

Juru bicara AMP, Surya Anta dalam aksi unjur rasa itu mengatakan perebutan wilayah Papua antara Belanda dan Indonesia pada dekade 1960an membawa kedua negara ini dalam perundingan yang kemudian dikenal dengan “New York Agreement”.  

Perjanjian ini terdiri dari 29 pasal yang mengatur 3 macam hal. Di antaranya pasal 14-21 mengatur tentang “Penentuan Nasib Sendiri (Self Determination) dengan sistem satu orang satu suara (One Man One Vote)”. 

Dan pasal 12 dan 13 yang mengatur transfer administrasi dari PBB kepada Indonesia, yang kemudian dilakukan pada 1 Mei 1963 dan oleh Indonesia dikatakan ‘Hari Integrasi’ atau kembalinya Papua Barat ke dalam pangkuan NKRI.

Kemudian pada 30 September 1962 dikeluarkan “Roma Agreement/Perjanjian Roma” yang intinya Indonesia mendorong pembangunan dan mempersiapkan pelaksanaan Act of Free Choice (Tindakan Pilih Bebas) di Papua pada tahun 1969. 

Namun dalam praktiknya, Indonesia memobilisasi militer secara besar-besaran ke Papua untuk meredam gerakan Pro-Merdeka rakyat Papua. Operasi Khusus yang diketuai oleh Ali Murtopo dilakukan untuk memenangkan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA).

Akibatnya terjadi pelanggaran HAM yang luar biasa besar, di antaranya penangkapan, penahanan, pembunuhan, penghilangan paksa, kekerasan seksual dan pembungkaman ekspresi dan kebudayaan West Papua.

Pada 14 Juli – 2 Agustus 1969, PEPERA dilaksanakan. Dari 809.337 penduduk Papua yang tercatat, hanya diwakili oleh 1.025 orang yang sebelumnya sudah dikarantina di bawah todongan senjata. Sudah dapat ditebak hasilnya, PEPERA berhasil dimenangkan oleh Indonesia dengan suara mutlak.

Fakta ini menunjukan bahwa proses pelaksanaan PEPERA 1969 adalah ilegal, penuh rekayasa dan tidak demokratis. Maka dalam peringatan 49 tahun PEPERA yang tidak demokratis ini, Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) bersama Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) mengajak seluruh kawan-kawan pro demokrasi untuk dapat melibatkan diri dalam aksi damai yang dilakukan pada Kamis, 2 Agustus 2018 waktu  11.00 WIB - Selesai, tempat Patung Kuda Indosat (Titik Kumpul) – Istana Merdeka, Jakarta.(azf)