KPK Agar Supervisi Potensi Korupsi Sisa Masa Jabatan Gubri

Senin, 06 Agustus 2018 - 17:33:30 WIB

Pemaparan masalah carut marut lingkungan hidup dan kehutanan, perkebunan di Provinsi Riau disampaikan oleh Koordinator Jikalahari Made Ali, Perkumpulan Elang, Besta, Fitra Riau Triono Hadi, Staf Kampanye dan Advokasi Jikalahari Aldo di Pekanbaru Riau, Sen

Pekanbaru, Detak Indonesia--Jikalahari mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mensupervisi agar Gubernur Riau Arsyadjuliandi Rachman tidak menerbitkan perizinan terkait tata ruang paska Peraturan Daerah (Perda) No 10 Tahun 2018 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Provinsi (RTRWP) Riau 2018-2038 berlaku, jelang masa jabatan berakhir pada Februari 2019.

“Potensi korupsinya tinggi sekali, sebab korporasi perkebunan, hutan tanaman industri (HTI) dan tambang antre menagih pernyataan Andi Rachman,” kata Made Ali, Koordinator Jikalahari. 

Sebelum ada Perda tata ruang, Andi Rachman pernah mengatakan potensi investasi mencapai Rp50 triliun terhambat masuk ke Riau karena persoalan RTRW. Potensi investasi ini masih besar dan bisa digali dengan maksimal, sehingga kita mengharapkan RTRW cepat tuntas.

Hasi investigasi Jikalahari menemukan Andi pada Februari 2016 pernah mengirimkan surat meminta arahan pemanfaatan ruang di Provinsi Riau kepada Menko Perekonomian, Mendagri, Menteri ATR dan Menteri LHK. 

Dalam surat, Andi menuliskan karena adanya
kebutuhan ruang untuk pelaksanaan pembangunan dan investasi sehingga
membutuhkan izin berkaitan dengan tata ruang. Sedangkan jika RTRWP belum disahkan,
pemerintah tidak dapat menerbitkan perizinan baru atau memperbaharui izin lama.

Dalam surat, Andi melampirkan investor-investor yang dimaksud, diantaranya: PT Jasa Marga, PT Kereta Api Indonesia, PT Pelabuhan Indonesia, PT Perusahaan Listrik Negara, PT Perusahaan Gas Negara, SKK Migas, PT Chevron Pacific Indonesia, PT Riau Andalan Pulp and Paper, PT Sateri Viscose International, perusahaan perkebunan swasta (perkebunan, pabrik kelapa sawit dan jalan produksi), perusahaan pertambangan, rumah sakit swasta, PT Besmindo Materi Sewata dan investasi di Dumai.

Koordinator Jikalahari, Made Ali

Perihal pejabat publik menerbitkan keputusan jelang masa jabatan berakhir berdampak
buruk bagi masyarakat, lingkungan hidup dan kerugian perekonomian negara di Riau. Pada 2013, Bupati Indra Mukhlis Adnan melalui Kepala BP2MPD menerbitkan izin Usaha Perkebunan (IUP) kelapa sawit untuk PT S seluas 17.059 ha, tiga minggu jelang masa jabatan Bupati berakhir pada November 2013. Dampaknya PT S menebang hutan alam, merusak gambut dan mencaplok lahan masyarakat. Kerugian keuangan negara senilai Rp71 Milyar dari penebangan hutan alam seluas 2.129 ha sepanjang 2013-2015.

Pada 2014, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menerbitkan SK.673/Menhut-II/2014 tentang
Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan menjadi Bukan Kawasan Hutan seluas ± 1.638.249 ha. Perubahan fungsi kawasan Hutan seluas ± 717.543 ha dan Penunjukan Bukan Kawasan Hutan Menjadi Kawasan Hutan seluas ± 11.552 ha di Provinsi Riau pada 8 Agustus 2014 dan SK SK 878/Menhut-II/2014 tentang Kawasan Hutan Provinsi Riau pada 29 September 2014, dua hari jelang akhir masa jabatannya sebagai menteri. 1http://pekanbaru.tribunnews.com/2017/08/29/gubernur-sebut-potensi-investasi-masuk-ke- riau-tahun-ini-capai-rp50-triliun-lebih.

Hasil investigasi Jikalahari bersama Eyes on the Forest menemukan, 55 korporasi yang ‘diputihkan’ dan terafiliasi dengan grup besar, Panca Eka, Sarimas, Peputra  Masterindo, Panca Eka, Indofood, Bumitama Gunajaya Agro, Aek Natio, Adi Mulya, Provident Agro, Darmex, Borneo Pasific dan lain-lain.

Hasil monitoring dan evaluasi perizinan DPRD Riau 2015 menemukan kerugian negara dari sektor pajak senilai Rp73 triliun yang berasal dari 315 perusahaan sawit berada di dalam kawasan hutan seluas 1,8 juta hektare di Riau tanpa izin pelepasan kawasan hutan.

Di sisa masa jabatan sekitar enam bulan Andi Rachman sebagai Gubernur Riau, sebaiknya Andi
Rahman bersama KPK fokus membenahi perbaikan tata kelola lingkungan hidup dan
kehutanan. Apalagi, pada 2018 KPK dan Gubernur Riau telah menandatangani Rencana Aksi Daerah (RAD) pencegahan korupsi dua di antaranya di sektor kehutanan dan perkebunan yang harus diselesaikan pada 2018-2019. Reaksi sektor kehutanan dan. perkebunan fokus pada penataan, pengawasan dan pengendalian, review dan audit perizinan, evaluasi kinerja perizinan serta mendorong optimalisasi penerimaan negara dari sektor perizinan perkebunan dan kehutanan.

Selain itu, “di atas kertas” sepanjang 2014-2018, Andi Rahman telah menerbitkan beberapa kebijakan: Pada 2014 Andi Rachman bersama KPK menandatangani nota kesepakatan menjalankan rencana aksi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA) – KPK di Riau.

Fokus utama GNPSDA-KPK terkait (1) penyelesaian pengukuhan kawasan hutan, penataan ruang dan wilayah administrasi, (2) penataan perizinan kehutanan dan perkebunan, (3) perluasan wilayah kelola masyarakat, (4) penyelesaian konflik kawasan hutan, (5)  penguatan instrumen lingkungan hidup dalam perlindungan hutan dan (6) membangun sistem pengendalian anti korupsi. 

Keenam fokus GNPSDA – KPK dikembangkan oleh Andi Rachman bersama pemerintah daerah dan kabupaten di Riau menjadi 19 rencana aksi.
Pada 16 Februari 2015 Andi Rahman menetapkan Peraturan Gubernur Riau (Pergub) Nomor 5 tahun 2015 tentang Pelaksanaan Rencana Aksi Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Riau. Peraturan ini berisi rencana aksi yang dilakukan pemerintah. dalam pencegahan karhutla agar tidak kembali terjadi di Riau. Peraturan ini memuat 16 rencana aksi pencegahan kebakaran hutan dan lahan di Riau.

Fokus utama Rencana Aksi di antaranya: Perbaikan kebijakan perlindungan di kawasan
rawan kebakaran, Pelaksanaan evaluasi konsesi, Penguatan kapasitas pemerintah daerah dalam resolusi konflik, Penguatan legislasi, Pengawasan berjenjang terhadap perusahaan pemegang izin konsesi, Pemberdayaan masyarakat oleh perusahaan (pembentukan MPA) dan Dukungan pembukaan lahan tanpa bakar dan insentif.

Pada 31 Maret 2016, Andi Rachman menerbitkan SK Kpts.350/III/2016 sebagaimana diubah dengan Keputusan Gubri Nomor Kpts.539/V/2016 tentang Tim Restorasi Gambut di Provinsi Riau. Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD) bertugas mendukung pelaksanaan. kegiatan Badan Restorasi Gambut (BRG) di daerah. Lalu pada 11 Desember 2017 menerbitkan SK perubahan dengan Nomor Kpts.931/XII/2017 yang menjelaskan tugas TRGD serta keanggotaan TRGD.

TRGD bertugas melaksanakan koordinasi dan penguatan kebijakan pelaksanaan restorasi
gambut, perencanaan, pengendalian dan kerjasama penyelenggaraan restorasi gambut,
pemetaan kesatuan hidrologis gambut, penetapan zonasi fungsi lindung dan budidaya, konstruksi infrastruktur pembasahan (rewetting) gambut dan segala kelengkapannya, penataan ulang pengelolaan areal gambut terbakar, sosialisasi dan edukasi restorasi gambut dan sepervisi dalam konstruksi operasi dan pemeliharaan infrastruktur di lahan konsesi.

Namun, sejak dibentuk TRGD tidak banyak melakukan kegiatan terkait restorasi gambut
di Riau. Padahal pada 2017, BRG berhasil merestorasi 27 ribu ha lahan di Riau dan sudah
menganggarkan biaya operasional bagi TRGD Rp49,8 miliar dari APBN 2018 untuk penggunaan fisik dan pemberdayaan masyarakat. Namun dengan kinerja TRGD saat ini, target restorasi seluas 140 ribu ha pada 2018 di Riau akan sulit tercapai. Ketua TRGD Riau sebaiknya diganti saja karena dia Sekda tak paham seluk beluk ilmu gambut ganti dengan yang ahli gambut. Sudah banyak terjadi kebakaran di lahan gambut di Riau sejak Juli 2018 hingga Agustus 2018.

Pada 14 Februari 2018, Andi Rachman menerbitkan Surat Keputusan Gubri Nomor
Kpts.184/II/2018 tentang Pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) Percepatan Perhutanan
Sosial (PPS) Provinsi Riau. Pokja PPS memiliki tugas merealisasikan target PS seluas 1,42
juta ha dan target pada 2018 seluas 526 ribu ha. Namun hingga saat ini Pokja PPS tidak berjalan, alasannya terkendala karena belum disahkannya Perda RTRWP Riau dan tidak adanya anggaran.

Paska Perda ditetapkan pada Mei lalu, Pokja masih belum menyusun rencana strategis mendorong percepatan PS. Di tengah kebijakan di atas tak kunjung diimplementasikan Andi Rahman, Karhutla kembali melanda Provinsi Riau. Sekitar 400 hektare lahan terbakar sepanjang Juli 2018. Total luas kebakaran kawasan hutan dan lahan di Riau sepanjang Januari - Juli 2018
mencapai 2.445 ha.

Berdasarkan data satelit Terra-Aqua Modis ada 1.139 hotspot di Riau sepanjang Januari –
Juli 2018. Dengan confidence > 70 persen ada 343 titik yang berpotensi menjadi titik api.
Hotspot terlihat berada di areal korporasi, kawasan gambut dalam, areal konservasi dan
moratorium. Di areal korporasi, PT Riau Andalan Pulp and Paper, PT Arara Abadi, PT Satria
Perkasa Agung, PT Sumatera Riang Lesatari dan PT Rimba Rokan Perkasa dideteksi terbanyak muncul hotspot.Hotspot-hotspot ini bermunculan di kawasan gambut dengan kedalaman rata-rata 1 meter hingga melebihi 4 meter.

"Sementara kawasan lindung gambut di dalam konsesi perusahaan juga ada yang dirusak hutan alamnya ditebang dan diambil kayu alamnya padahal jadi tanggungjawab perusahaan yang diberi izin oleh Menteri LHK untuk menjaganya. Ini terjadi di beberapa areal konsesi perusahaan seperti di lahan Sinar Mas, PT RAPP, Asian Agri, dan lain-lain. Kami minta agar izin dicabut," jelas Made Ali.
 
”Di areal terbakar lagi-lagi teridentifikasi areal berkonflik yang dirambah oleh masyarakat,
lantaran konflik tak kunjung diselesaikan pemerintah,” kata Besta Junandi dari
Perkumpulan Elang (Eye on the Forest). 

Besta menilai, pemerintah sudah menyediakan alternatif penyelesaian konflik berupa reforma agraria seperti perhutanan sosial dan Tora. Meski Gubernur Riau telah menerbitkan Pokja PS, sejauh ini baru tercapai 85.884 ha dari 560 ribu target perhutanan sosial di Riau.

“Dukungan politik anggaran untuk perhutanan sosial termasuk pencegahan kebakaran hutan dan lahan dalam APBD Riau 2018 juga minim,” kata Triono Hadi dari Fitra Riau. 

Fitra Riau mencatat Pemprov Riau melalui APBD 2018 hanya alokasikan Rp3,8 Milyar untuk pengendalian karhutla. Jumlah ini menurun drastis dibandingkan anggaran 2017 yang mencapai Rp23,4 Milyar. Artinya alokasi anggaran untuk pengendalian karhutla hanya 16 persen dari alokasi 2017 lalu.

Sementara alokasi anggaran Provinsi Riau tahun 2018 untuk mendukung percepatan PS dialokasikan sebesar Rp96,2 juta. Bahkan alokasi anggaran tahun 2018 jauh lebih rendah dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp1,2 Milyar.

“Kondisi ini menunjukkan bahwa komitmen pemerintah daerah untuk menfasilitasi masyarakat berpartisipasi dalam mengelola hutan sangat rendah. Ada kebijakan, tapi anggarannya tidak ada, sama saja Gubernur Riau tak punya komitmen memperbaiki kerusakan lingkungan hidup”.

Untuk itu Gubernur Riau Andi Rachman segera:
a. Mengoptimalkan fungsi dan kerja serta mengalokasikan anggaran bagi Pokja PS
sehingga Pokja PS dapat bekerja untuk merealisasikan target PS di Riau 526.000
ha jelang akhir jabatannya dan mencapai target 1,42 juta ha pada 2019. b. Merealisasikan komitmen Rencana Aksi Daerah Penanggulangan Korupsi prioritas sektor kehutanan, perkebunan dan pertambangan. Menunda pemberian izin bagi investor yang telah masuk pasca Perda RTRWP Riau ditetapkan sampai dilakukan verifikasi berkoordinasi dengan KPK dan menyampaikan ke publik terkait investasi yang akan masuk di Riau.

Kemudian c. Merealisasikan target TORA di Provinsi Riau seluas 409 ribu ha. d. Menerbitkan dan mengimplementasikan rencana aksi pencegahan dan penanggulangan karhutla serta memaksimalkan kinerja TRGD untuk melaksanakan target restorasi gambut seluas 900 ribu ha pada 2018. e. Menindaklanjuti rekomendasi Pansus Monitoring dan Evaluasi Perizinan HGU, IU-Perkebunan, IUPHHK-HT, IUPHHK-HA, IUPHHKRE, IUPHHBK, dan HTR DPRD Riau 2015. f. Meningkatkan partisipasi publik dalam perencanaan dan pengawasan kebijakan
kehutanan, perkebunan dan pertambangan melalui forum-forum diskusi dan kolaborasi monitoring kepada KPK agar: a. Melakukan koordinasi, supervisi dan pencegahan anti korupsi terhadap RAD PK prioritas. Lalu menyampaikan progress capaian kepada publik.(*/di)