Izin Perhutanan Sosial Lahan Gambut Berbelit-belit

Sabtu, 24 November 2018 - 18:48:04 WIB

Diskusi masalah Perhutanan Sosial (PS) digelar Yayasan Mitra Insani, Walhi Riau, Jikalahari di Pekanbaru, Riau, Sabtu (24/11/2018). Disimpulkan, Pemerintah di Provinsi Riau berbelit-belit menerbitkan izin Perhutanan Sosial untuk masyarakat. (Aznil Fajri/

Pekanbaru, Detak Indonesia--Perhutanan Sosial di Lahan Gambut di Provinsi Riau sebenarnya ada di Desa Tohor Kabupaten Kepulauan Meranti Riau seluas 10.000 hektare. Ini kata pembuka dari moderator Aldo dalam pertemuan di Paf Coffee Pekanbaru, Riau Sabtu petang (14/11/2018). Sementara Koordinator Jikalahari Made Ali kali ini menugaskan Okto Yugo Setiyo wakilnya berbicara. Made Ali cukup duduk mojok di sisi kanan ruang diskusi. 

Namun menurut moderator Aldo, dalam perjalanannya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI  dan Pemerintah Daerah di Riau baik Gubernur maupun Bupati di Riau menerapkan perizinan yang panjang dan berbelit-belit sehingga menyulitkan masyarakat dalam mendapatkan izin mengelola lahan gambut tersebut untuk program Perhutanan Sosial.  

Menurut Direktur Eksekutif Walhi Riau Riko Kurniawan,  lahan gambut dikuasai dan diusahakan oleh sektor HTI dan perkebunan kelapa sawit. Hutan gambut sejak 1990 di Riau merupakan ciptaan Tuhan. Kondisinya sebelum 1990 kondisinya air lahan basah. Dulu orang di kampung memotong kayu di atas air. 

Pengeringan gambut itulah menjadi sejarah besar menimbulkan lahan kering karena tadinya gambut adalah lahan gambut yang basah lalu dikeringkan dan terjadi kebakaran lahan. 

Tahun 2015 terjadi kebakaran lahan di Riau secara besar-besaraan dimulai sejak 2012, 2013 sampai puncaknya 2015. Tahun 2007 di Riau juga terjadi kebakaran lahan.  Lahan gambut yang tadi basah dikeringkan dan oleh Negara diberikan izin kepada perusahaan. Jadi yang bertanggungjawab atas kebakaran lahan itu adalah Negara dan perusahaan yang diberi izin lahan gambut itu. 

Pokja PS, LHK,  Bupati,  Gubernur Riau menjadi penghambat pemberian izin program Perhutanan Sosial (PS) di Riau. Mereka takut memberikan izin-izin kepada masyarakat. Siapa yang bertanggungjawab pada PS itu. Padahal ada tata kelolanya ada Rencana Kerja Tahunan (RKT) ada Rencana Kerja Umum (RKU). 

"Saya lihat, ada pihak-pihak yang menghembuskan isu jika hutan gambut dikelola oleh masyarakat nanti bagaimana tanggungjawabnya," ujar Riko.  

Menurut Riko Kurniawan  Pemerintah bertanggungjawab membina masyarakat Perhutanan Sosial. Jadi menurut Riko bahwa ASN di Riau ini bodoh, mereka takut padahal sudah ada aturan Perhutanan Sosial itu dari pusat. Aturan daerah yang dibuat harus mengacu kepada aturan pusat, bukan malah menghambat. Aturan Kehutanan pusat yang harus dipatuhi, Perda dan aturan daerah lainnya harus tunduk pada aturan kehutanan pusat yang dibuat Pemerintah Pusat. Jadi abaikan aja aturan daerah itu,  yang perlu dipegang adalah aturan kehutanan.

Sementara menurut Wakil Koordinator Jikalahari Okto Yugo Setiyo, kawasan Hutan Lindung (HL) bisa dikelola dengan konsep Perhutanan Sosial. 

Dalam PP 57/2016 masalah Restorasi di lokasi lindung gambut juga boleh dikelola program Perhutanan Sosial. Masyarakat agar tidak merusak gambut. Contoh tanaman gambut di Sungai Tohor adalah Sagu. Tak hanya semuanya sagu tapi ada juga tanaman hutan lainnya. Kawasan hutan lindung intinya bisa dibuat program Perhutanan Sosial. Bisa dibuat zonasinya. 

Sebagai contoh rencana Perhutanan Sosial di Desa Segati Pelalawan Riau,  saat tim kabupaten mau turun dan buat surat ke Dinas LHK Riau maka dibalas oleh Dinas LHK Riau bahwa kawasan itu sesuai RTRW harus mendapat rekomendasi dari Gubernur Riau dan harus sudah dibahas di DPRD Riau. Sehingga rencana perhutanan sosial di Desa Segati Pelalawan saat ini tersendat-sendat. 

Sementara menurut Direktur Yayasan Mitra Insani, Muslim Rasyid pejabat birokrasi di Riau dalam memandang Perhutanan Sosial dan TORA berbeda-beda karena itu di lahan gambut,  tak boleh padahal boleh dikelola inilah yang menjadi penghambat lancarnya program perhutanan sosial di Riau. 

Ada juga Perda yang menghambat. Terkadang di RPJMD tidak memasukkan program Perhutanan Sosial. Perlu komitmen politik dan tata ruang. Konteksnya sebenarnya tak ada hambatan masyarakat mengelola Perhutanan Sosial. Masyarakat boleh mengelola hutan gambut. 

Masalah tata kelola lahan gambut ada keraguan Pemerintah memberi izinnya kepada masyarakat. Di sini ada nuansa politik dan nuansa keberpihakan. Sebenarnya masyarakat tahu dan paham masyarakat tidak akan mengeluarkan kayu alam, tapi mengelola perhutanan sosialnya contoh di Desa Sapat Kabupaten Indragiri Hilir Riau warga sudah menanam 3.000 batang bibit tanaman sagu. Oleh sebab itu agar Pemerintah memberi kesempatan kepada masyarakat merestorasi lahan gambut. 

"Yang menghambat itu sebenarnya tak ada. Yang menghambat itu Hantu." kata Muslim Rasyid marah dan kesal dengan berbelit-belitnya pejabat daerah di Riau dalam menerapkan program Perhutanan Sosial.  

Menurutnya,  padahal Pemerintah Pusat melalui  sudah sering menggaungkan masalah program Perhutanan Sosial ini.  Tapi Pemerintah Daerah di Riau terkesan memberikan izin berbelit-belit dengan banyak alasan antara lain belum dimasukkan dalam RPJMD, harus sesuai RTRW Riau, dan lain-lain. 

"Dengan Perhutanan Sosial contoh di Desa Sapat Inhil itu perputaran uang di desa itu sekitar Rp3,1 miliar per tahun. Di lokasi itu ada usaha penyewaan sampan, ada kegiatan tangkap ikan sekitar 5 kg per nelayan per hari. Semua berputar ekonomi desa. Jadi yang harus didukung agar Pemkab memasukkan program Pehutanan Sosial ke dalam RPJMD masing-masing daerah." tegas Muslim Rasyid. 

Sementara sejumlah mahasiswa yang hadir dalam diskusi ini siap membantu Walhi, Jikalahari, Yayasan Mitra Insani dalam program Perhutanan Sosial. Menurut mahasiswa yang hadir siapa yang menghambat izin perhutanan sosial ini maka mahasiswa siap membantu melawannya.

Terpisah, Irwansyah Reza Lubis dari Wetlands Jakarta menegaskan masalah utama izin PS di gambut sulit keluar adalah karena lahan tersebut masuk dalam areal moratorium izin baru, bahkan izin PS pun tidak bisa diberikan. Ini adalah kebijakan Pusat, jadi bukan hanya karena Pemda Riau. Hal yang sama terjadi di banyak provinsi lain, izin PS desa dampingan Wetlands di Kalteng juga masih tertahan. Kabar baiknya, saat ini sedang di siapkan peraturan menteri pengelolaan PS di lahan gambut.

"Kalau draft ini keluar izin PS di lahan gambut bisa diberikan asal tidak menebang pohon dan membuat kanal," kata Irwansyah Reza Lubis.(azf)