RRT Tingkatkan Manuver di Laut China Selatan

Jumat, 01 Mei 2020 - 11:20:11 WIB

Peta kawasan Laut China Selatan

Jakarta, Detak Indonesia--Di tengah wabah mondial virus corona baru atau Covid-19, Republik Rakyat Tiongkok (RRT) konsisten mengangkangi hukum internasional dan memancing ketegangan di wilayah perairan yang mereka klaim sebagai milik mereka. 

Dalam beberapa hari belakangan ini, dunia menyaksikan konsentrasi armada RRT di perairan Laut China Selatan. Secara sepihak RRT juga memberikan nama untuk 25 pulau, beting, terumbu, serta 55 gunung dan punggung laut di perairan itu.

Menurut Dosen Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Teguh Santosa, manuver RRT di Laut China Selatan konsisten dengan sikap RRT yang mengabaikan hukum internasional di kawasan. 

Kapal Angkatan Laut (AL) RRT tingkatkan kegiatan di kawasan Laut China Selatan

“RRT selalu menggunakan klaim kuno bahwa perairan itu adalah milik mereka, seolah-olah mereka sedang hidup di era ratusan tahun yang lalu. Seperti saat pendiri Dinasti Yuan Kublai Khan berkuasa di daratan China dan memaksakan negeri-negeri lain untuk tunduk kepada mereka. RRT mengabaikan kenyataan bahwa setelah Perang Dunia Kedua banyak negara baru yang memiliki hak kedaulatan atas wilayah perairan yang diakui berbagai perjanjian internasional, seperti UNCLOS 1982,” ujar Teguh Santosa dalam keterangan yang diterima redaksi.  

“RRT memperlihatkan dengan terang benderang bahwa mereka enggan menghormati hukum internasional,” sambung Dosen Politik Asia Timur ini. 

RRT kembali mengajukan klaim atas perairan tersebut pada tahun 2009. Pada tahun 2013, ketika Filipina yang merasa dirugikan oleh klaim mengajukan gugatan ke Permanent Court of Arbitration (PCA) di Belanda, RRT mengabaikan gugatan.

Pulau Karang yang dibangun RRT di kawasan Laut China Selatan

Di tahun 2016, PCA memutuskan bahwa RRT tidak memiliki hak atas perairan Filipina. Lagi-lagi RRT tidak menganggap keputusan itu ada. 
“Desember tahun 2019 lalu pun hubungan Indonesia dan RRT sempat memanas karena RRT memasuki Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia tanpa izin. RRT juga marah Indonesia menggunakan nama Laut Natuna Utara untuk wilayah perairan Natuna yang menjadi hak kedaulatan Indonesia,” ujar Teguh mengingatkan.

Pada bagian lain, Teguh mengatakan, pemerintahan Partai Komunis RRT jeli melihat sengketa perbatasan wilayah perairan yang sedang terjadi di antara negara-negara anggota ASEAN. 

“Mereka paham bahwa di antara negara-negara ASEAN ada sengketa untuk menentukan garis batas di perairan yang sudah berlangsung cukup lama. ASEAN pun kesulitan menjadikan agresifitas RRT di perairan ini sebagai persoalan yang harus dihadapi bersama,” ujar Teguh lagi. 

Pulau buatan Fiery Cross Reef juga siap berperang dengan persenjataan yang dipasang oleh RRT, sebagai pertentangannya terhadap komunitas internasional. (Foto: Reuters)

Manuver RRT, masih kata Teguh, berpotensi memancing ketegangan dalam skala besar di kawasan. Tidak hanya menyinggung negara-negara yang wilayahnya dicaplok, baik Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Taiwan, tetapi juga memancing keterlibatan super power lain, Amerika Serikat dan sekutu di kawasan, seperti Jepang.    

Pandangan senada juga disampaikan peneliti Chatham House, Bill Hayton. 

Lebih banyak senjata dan rudal terlihat di pulau buatan Hughes Reef. (Foto: Reuters)

Dalam keterangannya beberapa hari lalu, Bill Hayton mengatakan, sikap RRT inkonsistensi dengan kenyataan bahwa mereka juga merativikasi UNCLOS 1982. 

“RRT telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) yang sangat jelas mengatur tentang apa yang bisa dan tidak bisa diklaim negara sebagai wilayah. Namun RRT nampaknya menentang UNCLOS dengan menegaskan kedaulatan di tempat-tempat yang sangat jauh," ujar Bill Hayton.(*/rls/di)