Banyak Potongan di Penetapan Harga Kelapa Sawit Riau

Senin, 31 Agustus 2020 - 20:16:09 WIB

Foto-foto akrivitas kelapa sawit Riau, dan Ketua Apkasindo Ir Gulat Medali Emas Manurung.(Aznil Fajri/DetakIndonesia.co.id)

Pekanbaru, Detak Indonesia--Setiap sepekan sekali, Tim Penetapan Harga Kelapa Sawit Dinas Perkebunan Provinsi Riau mengadakan rapat penetapan harga sawit setiap hari Selasa bersama perusahaan besar perkebunan kelapa sawit Riau.

Ada beberapa perusahaan yang turut menetapkan harga kelapa sawit Riau seperti Asian Agri, Sinar Mas, PTPN V dan lain-lain.

Mestinya harga jual TBS pekebun --- pekebun plasma dan swadaya --- sangat moncer kalau tidak dijejali oleh potongan-potongan tak lazim. 

Potongan itu tak hanya di Pabrik Kelapa Sawit (PKS), tapi juga setelah kelapa sawit menjadi Crude Palm Oil (CPO). Saat TBS sudah jadi CPO, pekebun sudah dibebani ongkos angkut CPO ke pelabuhan sebesar Rp186,40 perkilogram. 

Alhasil, harga Free On Board (FOB) yang tadinya Rp9.068,18 turun menjadi Rp8.881,78 meski Kernel tetap Rp4.743,51. 

Selain ongkos angkut tadi, Pekebun juga masih menanggung beban biaya pemasaran CPO dalam negeri sebesar Rp42,34 perkilogram. 

Mau tak mau, harga bersih CPO di pabrik, menjadi Rp8.839,44. Padahal untuk menentukan harga TBS Pekebun menurut Permentan nomor 1 tahun 2018 tadi adalah gabungan dari hasil pengalian harga bersih masing-masing produk di pabrik, dengan rendemennya. 

Itulah makanya, gara-gara dikurangi biaya pemasaran itu, harga TBS Pekebun hanya Rp2.046,48. Beda kalau ongkos pemasaran tadi tidak dibebankan kepada Pekebun, harga TBS yang bisa dinikmati masih di angka Rp2.055,15. 

Di PKS, Pekebun harus menanggung biaya pengolahan TBS sebesar Rp123,39 perkilogram. Biaya penyusutan --- nilai ekonomis peralatan pabrik yang menyusut --- Rp32,49 perkilogram dan Biaya Operasional Tidak Langsung (BOTL) Rp49,72 perkilogram. 

Singkat cerita, setelah semua ongkos-ongkos tadi dikurangi, ketemulah harga beli TBS Pekebun Rp1.840,87. Ini belum terbasuk beban sortasi yang bisa mencapai 12 persen!

Di hitungan kedua ini, muncul pertanyaan; haruskah pekebun yang menanggung beban penyusutan pabrik? Sebab dalam sepekan saja, duit Pekebun yang terpotong mencapai Rp1,9 miliar. Jika begitu ceritanya, sama saja Pekebun yang punya pabrik itu. 

Tapi yang paling menjadi pertanyaan adalah beban BOTL. Sebab di BOTL ini, ada ongkos-ongkos yang aneh. Pada lampiran Permentan Nomor 1 Tahun 2020 tadi disebutkan bahwa poin-poin pengeluaran dalam BOTL tadi antara lain; Cost Of Money (bunga dan biaya bank, asuransi keamanan pengiriman uang) yang nilainya hingga 1,33 persen, penyusutan timbangan CPO dalam transportasi 0,30 persen serta kegiatan penetapan harga TBS, pembinaan pekebun dan kelembagaan Pekebun 1 persen.         

Dari data Tim Pokja penetapan harga TBS Pekebun di Riau periode 12-18 Agustus 2020 disebutkan bahwa total TBS Petani yang dibeli adalah 59.357.264 kilogram. TBS ini menghasilkan CPO sebanyak 8.863.080 kilogram dan Kernel 450.000 kilogram. Hitungan ini baru hanya dari 10 perusahaan yang bersepakat dalam penetapan harga TBS itu meski di Riau, ada sekitar 192 Pabrik Kelapa Sawit (PKS). 

Nah, terkait ongkos BOTL tadi, kalau yang dipotong adalah Rp49,72 perkilogram TBS (2,63% x Harga TBS x Total TBS Pekebun  yang dibeli 10 PKS), maka duit yang terkumpul sudah lebih dari Rp2,9 miliar seminggu. Kalau sebulan, angka ini membengkak menjadi Rp11,6 miliar. 

Kalau satu persen saja dari harga TBS per mingguan penetapan harga TBS itu menjadi biaya pembinaan Pekebun dan kelembagaan Pekebun sesuai Permentan Nomor 01 Tahun 2018 tadi, maka dalam sepekan, Pekebun dan lembaganya mendapat gelontoran duit Rp1,12 miliar atau Rp4,48 miliar dalam sebulan. 

Celakanya, tidak sepeserpun duit ini mengalir ke Pekebun maupun kelembagaan Pekebun. Lalu di mana duit ini ngendon? Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Medali Emas Manurung, justru memastikan kalau Riau ketinggalan dalam regulasi perkelapasawitan khususnya yang terkait dengan kepentingan Petani. 

Provinsi lain yang luas kebun sawitnya hanya seperdelapan luas kebun sawit Riau, sudah punya Peraturan Gubernur (Pergub) yang mengatur tataniaga TBS. 

"Riau sebagai provinsi terluas kebun sawitnya di Indonesia --- mencapai 3,38 juta hektar. Angka ini setara dengan 20,68?ri 16,3 juta hektar luas kebun sawit di Indonesia --- belum punya Pergub tentang TBS. Mestinya, sejak Permentan 01 Tahun 2018 terbit, sudah harus ada Pergub sebagai turunan. Entah apalah kerja Gubernur dan Kepala Dinas Perkebunan sebelumnya," ujar lelaki 47 tahun itu.

Kalau saja Pergub sudah ada sejak 2018 kata Gulat, alat kontrol penetapan harga TBS di Riau yang digelar saban sepekan, sudah ada. “Apkasindo berharap Riau segera menerbitkan Pergub Tataniaga TBS itu, biar pertanyaan-pertanyaan petani sawit yang mengelola 1,89 juta hektar (56%) kebun sawit di Riau tentang standar Penetapan Harga TBS dan kemana pemanfaatan dana potongan TBS seperti Dana BOTL, terjawab,” katanya.

Sebab kata Gulat, betapa besar beban yang ditanggung oleh Pekebun atas penjualan TBSnya, termasuklah itu potongan timbangan TBS Pekebun di PKS, khususnya PKS Komersial yang mencapai 12%. 

Faktor koefisien cangkang hanya Rp10, itu pun hanya kesepakatan di bawah tangan lantaran Pergub belum ada. “Padahal saat ini harga jual cangkang cukup menggiurkan. Mencapai Rp850 perkilogram, hampir mendekati harga TBS,” katanya. (*/rls)