FITRA RIAU: Kebijakan Gubernur Riau Tidak Tepat

Kamis, 03 September 2020 - 11:20:49 WIB

Koordinator Fitra Riau, Triono Hadi (kiri), dan Gubernur Riau Drs H Syamsuar MSi (kanan). (ist)

Pekanbaru, Detak Indonesia-- Pemerintah Provinsi Riau, mengeluarkan kebijakan pemotongan Bantuan Keuangan (Bankeu) ke Pemerintah Desa se Riau tahun 2020. 

Tidak hanya memotong anggarannya, Gubernur Riau juga membatalkan membiayai honorarium/insentif kader pemberdaya masyarakat desa (PMD) ekonomi yang sebelumnya dijanjikan. Kebijakan itu dilakukan dengan alasan kondisi keuangan daerah Riau dalam situasi Covid19. 

Fitra Riau menilai, kebijakan tersebut tidak tepat, bahkan dapat disebut sebagai kebijakan yang zalim khususnya kepada kader PMD yang telah direkruit dan bekerja dalam beberapa bulan ini. 

Padahal, semestinya banyak cara yang bisa dilakukan oleh Gubernur Riau dalam mengatasi situasi tersebut.  

Pemerintah Provinsi Riau melalui APBD tahun 2020 telah menganggarkan bantuan keuangan ke Desa sebesar Rp200 juta per desa. Dengan alasan kondisi Covid19 yang mengakibatkan kondisi keuangan daerah terdegradasi (menurun) maka dikurangi menjadi Rp100 juta per desa, karena harus digunakan untuk penanganan covid19 dalam bentuk bansos. 

Kemudian, melalui surat yang dikeluarkan oleh Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa dan Kependudukan (DPMD-Capil) Provinsi Riau, nomor 415/DPMD-DUKCAPIL/409 tentang petunjuk teknis rasionalisasi BKK desa 2020 pada Juli 2020, meminta kepada Kepala Desa salah satunya untuk menghapus biaya honorarium Kader DPM-Ekonomi sebesar Rp15 juta/desa dalam APBDesa 2020. Karena biaya untuk membayar itu berasal dari Bankeu Desa yang akan disalurkan Provinsi dan rasionalisasi. 

Sementara, berdasarkan informasi yang diperoleh Fitra Riau dari beberapa desa, kader PMD Ekonomi telah direkruit dan telah bekerja sejak bulan Januari 2020 lalu. Untuk itu, maka penghapusan anggaran dengan alasan rasionalisasi tersebut adalah kebijakan yang sangat tidak tepat, karena menyangkut hak orang yang telah melaksanakan tugas. 

“Kebijakan itu, kontra produktif dengan kebijakan pada situasi Covid19. Di satu sisi pemerintah berupaya mengurangi dampak sosial dan ekonomi, di sisi lainnya pemerintah  justru mengambil kebijakan yang justru memberikan dampak sosial ekonomi bagi warganya,” tegas Triono Hadi, Koordinator Fitra Riau. 

Benar, bahwa daerah sedang mengalami gejolak ekonomi dan keuangan, namun seharusnya, Gubenur Riau mengambil langkah yang lebih bijak, alternatif cara yang dapat dilakukan Gubernur adalah: Tanpa merasionalisasi anggaran bantuan keuangan khusus (BKK) untuk honorarium kader DPM-Ekonomi. Jika dihitung, anggaran Rp15 juta untuk 1.592 desa itu adalah sebesar Rp23,8 Milyar. Seharusnya pemerintah daerah dapat melakukan penyesuaian pada belanja-belanja daerah lainnya.

Misalnya, diambil dari belanja pegawai, berdasarkan data BPKAD yang diterima, alokasi belanja pegawai Provinsi Riau 2020 hanya dirasionalisasi hanya 5,4 persen dari sebelumnya Rp2,4 Triliun menjadi Rp2,3 Triliun. Selain itu, anggaran yang dialokasikan untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) hanya berkurang 20 persen dari anggaran sebelumnya Rp332,6 M menjadi Rp257, 9 Milyar. 

Perlu diketahui anggaran untuk DPRD 98 persen digunakan untuk belanja habis pakai, dalam bentuk belanja perjalanan dinas dan kegiatan rapat-rapat. Juga pada OPD lainnya seperti Sekretariat Daerah dan OPD lainnya, sehingga masih banyak ruang untuk mencari Rp23 Milyar untuk Desa. 

Dirasionalisasi tanpa menghilangkan kegunaan honorarium Kader PMD-Ekonomi. Rasionalisasi Bankeu desa tidak 100 persen dihilangkan, melainkan Pemprov masih akan memberikan Bankeu Khusus ke desa sebesar Rp 85 juta per desa. Oleh karena itu, seharusnya Pemprov Riau tetap memberikan ruang kepada Desa untuk membayar honorarium Kader PMD Ekonomi dari Bankeu yang akan disalurkan itu, dengan tetap melakukan evaluasi kinerja yang terukur kepada kader PMD Ekonomi sesuai dengan tujuan awal yang ditetapkan. (*/azf)