Petani Datangi Disbun Riau, Tanyakan Pungutan Sawit Rp2,9 Miliar

Rabu, 09 September 2020 - 18:37:41 WIB

Sejumlah petani kelapa sawit Riau yang tergabung dalam Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) mendengarkan pemaparan Dinas Perkebunan Pemprov Riau, Rabu (9/9/2020). (ist)

Pekanbaru, Detak Indonesia--Sejumlah Petani kelapa sawit di Provinsi Riau mulai resah mempertanyakan penerapan kebijakan Biaya Operasional Tidak Langsung (BOTL) yang dipungut oleh sejumlah Pabrik Kelapa Sawit (PKS) terhadap hasil produksi perkebunan sawit mereka. 

Di Provinsi Riau, ada pabrik kelapa sawit (PKS) milik perusahaan besar seperti Wilmar Grup, First Resourses/Ciliandra Perkasa, Sinar Mas, Asian Agri, dan beberapa pabrik kelapa sawit milik perusahaan sedang dan kecil, sampai pabrik kelapa sawit yang tak memiliki kebun sawit. Maju pesatnya perusahaan sawit besar akhir-akhir ini, beberapa petinggi Wilmar diinformasikan telah membangun gedung pencakar langit di Jakarta.

Sejumlah petani yang tergabung dalam Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) mendatangi Kantor Dinas Perkebunan Pemprov Riau di Pekanbaru, Rabu (9/9/2020). Mereka mempertanyakan penerapan kebijakan biaya operasional tidak langsung (BOTL) yang dipungut oleh sejumlah Pabrik Kelapa Sawit (PKS) terhadap hasil produksi perkebunan sawit di Riau yang mencapai Rp2,9 miliar setiap minggunya.

Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Riau Zulfadli mengatakan, dirinya sudah mendengarkan keluhan para petani sawit Riau itu. Dia mengatakan pertemuan tersebut belum bisa menghasilkan keputusan. 

"Kita sudah mendengar keluhan petani sawit bersama Apkasindo. Pembahasan BOTL selanjutnya akan kami laksanakan Kamis (10/9/2020) besok. Kita cari jalan terbaik dalam menjawab pungutan sawit yang berimbas pada harga tandan buah segar (TBS) tersebut," kata Zulfadli, Rabu (9/9/2020).

Kadisbun Riau Zulfadli menegaskan pihaknya ingin memberikan rasa keadilan bagi seluruh pihak baik para petani hingga pengusaha dengan kebijakan tersebut. 

Ketua Apkasindo Ir Gulat Medali Emas Manurung (kiri), dan Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Riau Ir Zulfadli (kanan)

"Insyaa Allah mudah-mudahan selesai. Kita ingin memutuskan ini secara adil dan memihak kepada kepentingan semua pihak," kata Zulfadli.

Zulfadli juga mengatakan sejauh ini Disbun Riau tidak melakukan pemungutan tersebut. Dia juga mengatakan akan mengupayakan membuat Peraturan Gubernur (Pergub) Riau yang merupakan turunan dari Permentan Nomor 1 tahun 2018 itu.

"Nanti setelah Pergub selesai, maka aturan pungutan tersebut akan diatur sesuai dengan Pergub yang berlandaskan pada Permentan 01/2018," tegasnya.

Sedangkan untuk Pergub Tata Niaga TBS Sawit, Zulfadli mengatakan bahwa Pergub tersebut sudah ada konsepnya dan sudah dibahas dan sedang berproses di Bagian Hukum Pemprov Riau. 

"Jika Pergub sudah selesai dan ditandatangani Gubernur Riau, kita pasti akan mengundang seluruh stakeholder terutama petani sawit dan asosiasi petani sawit," tambah Zulfadli.

Menurutnya, dalam Pergub itu nantinya akan ada pengawasan penerapan hasil penetapan harga TBS sawit di lapangan, sehingga diharapkan akan dapat mensejahterakan petani sawit. 

Di tempat yang sama, Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Apkasindo Gulat Medali Emas Manurung menyatakan kebijakan itu tak lagi berlaku di provinsi penghasil sawit lainnya seperti Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Jambi. 

"Kalau kita lihat di provinsi tetangga itu sudah nol. Di Sumut, Jambi, Sumbar tidak ada lagi BOTL. Di Riau masih berlaku. Ini kita perlu tau peruntukannya sebenarnya untuk apa. Kemana dana ini," kata Gulat usai menggelar pertemuan tertutup dan terbatas dengan Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Riau Zulfadli dan jajaran.

Menurut Gulat, BOTL diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1/2018. Artinya, dua tahun telah penerapan kebijakan itu di Riau. Dalam Peraturan Menteri Pertanian tersebut juga dijelaskan peruntukan BOTL itu, termasuk satu persen di antaranya untuk pembinaan para petani sawit. Namun, peruntukan itu tak juga dapat dirasakan para petani. Sehingga, perlu ditelusuri tujuan dan kemana larinya pungutan tersebut.

Selain Apkasindo, pertemuan bersama Dinas Perkebunan Riau juga dihadiri Asosiasi Petani Kelapa Sawit PIR Indonesia atau Aspekpir dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia. Dari pertemuan itu, Gulat mengatakan terdapat sejumlah keputusan yang disepakati. 

Pertama, adalah pembahasan BOTL secara komprehensif melibatkan asosiasi petani, pengusaha, pemerintah Provinsi Riau hingga Kementerian Pertanian yang mengeluarkan kebijakan tersebut. 

"Makanya Kamis nanti (10/9/2020) kita undang Profesor Ponten Naibaho, bidannya Permentan itu. Dia yang dulu melahirkan Permentan itu. Kita mau tau apa tujuannya. Dijelaskan biar kami tidak bertengkar di bawah," ujarnya.

Sementara di tempat terpisah, Pengamat Hukum Pidana Dr M Nurul Huda, menjelaskan setiap pungutan yang diatur oleh regulasi dan sudah diundangkan oleh Pemerintah harus dipertanggungjawabkan dan diaudit oleh auditor. Menurut Nurul, bisa saja BPK atau Auditor independen, tidak persoalan besar atau kecil, apalagi terkait ke potongan TBS petani sawit.

“Semua ada aturannya dan tidak boleh ada pembenaran apapun untuk berdalih, ini negara hukum. Saya sudah meminta Ketua Umum DPP Apkasindo untuk membuat laporan ke Polda Riau, ini akan membuat terang benderang siapa yang menikmati potongan yang jumlahnya cukup fantastis tersebut,” kara Huda yang juga Dosen Pascasarjana Hukum UIR. Nurul juga sebagai Dewan Pakar DPP Apkasindo. (*/rls.sdp/azf)