BPK : Dana Sawit BPDPKS Mengalir Tak Jelas ke Wilmar

Selasa, 22 Desember 2020 - 21:32:45 WIB

PT Wilmar, Dumai, Riau.

Jakarta, Detak Indonesia--Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tak hanya memberikan subsidi berlebih atas kesalahan penggunaan kurs rupiah di BI, BPK juga menemukan bahwa dana sawit BPDPKS juga mengalir tak jelas lantaran ada kelebihan bayar ongkos angkut biodiesel ke BUBBN mencapai Rp6,62 miliar.

Misalnya saja PT Wilmar Bioenergi Indonesia (WBI) dan PT Wilmar Nabati Indonesia (WINA) disebut mendapat kelebihan ongkos angkut biodiesel tersebut, masing-masing sebesar Rp2,04 miliar dan Rp4,58 miliar.

Kelebihan bayar terjadi lantaran perhitungan biaya angkut belum didasari oleh perhitungan dengan formula yang jelas dari BPDPKS dan Kementerian ESDM. Sedangkan yang terjadi di lapangan, perhitungan biaya angkut yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri ESDM cuma didasarkan pada besaran ongkos angkut usulan perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), pada saat menyalurkan Biodiesel kepada PT Pertamina (Persero).

Kondisi ini menyalahi Keputusan Menteri ESDM No.3239 K/12/MEM/2015 tentang Harga Indeks Pasar Bahan Bakar Nabati (Biofuel) yang dicampurkan ke dalam Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu dan Jenis Bahan Bakar Minyak Khusus Penugasan dan Keputusan Menteri ESDM Nomor 6034 K/12/MEM/2016 tentang Harga Indeks Pasar Bahan Bakar Nabati (Biofuel) yang Dicampurkan ke Dalam Bahan Bakar Minyak.

Atas kelebihan bayar itu, BPK menyebut bahwa BPDPKS belum juga menagih kelebihan ongkos yang terlanjur masuk kantong kedua perusahaan itu. BPK merekomendasikan kepada BPDPKS agar segera menagih kelebihan bayar yang terlanjur masuk ke kantong PT WBI dan PT WINA sebesar Rp6,62 miliar.

Terkait dengan gencarnya pemerintah menggenjot produksi biodisel, menurut Sawit Watch, salah satu penyebabnya karena pernah terjadi over produksi tandan buah segar (TBS) sehingga harga di pasaran menjadi jatuh. Sementara Uni Eropa sedang memboikot CPO Indonesia.

“Pemerintah butuh pasar baru. Tapi karena biodeisel ini tidak kompetitif, diberikan subsidi oleh pemerintah,” ucap Achmad Surambo, Deputi Direktur Sawit Watch sebagaimana dilansir law-justice.co.

Mekanisme subsidi yang diatur langsung oleh BPDPKS inilah yang kemudian menuai polemik. Subsidi untuk biodiesel ini tidak diatur dengan jelas dalam UU Perkebunan dan baru muncul dalam UU Cipta Kerja. Pemerintah memberikan subsidi yang besar untuk perusahaan-perusahaan yang mampu memproduksi biodiesel.

“Nah jatuhnya ke orang-orang itu juga. Pengusaha sawit yang punya kebun besar. Ini kan yang disorot juga sama KPK, yang memproduksi bukan hanya perusahaan besar tapi kok petani enggak ada subsidinya,” ucap Suarambo.

Jika ingin serius menggenjot biodiesel, kata dia, pemerintah harusnya lebih tegas dalam menekan pengusaha sawit untuk lebih mengembangkan sektor hilirisasi produk-produk sawit. Pasalnya, pasar biodiesel selamanya tidak akan kompetitif jika terus diberi subsidi.

“Kalau menurut kami, tidak perlu ada subsidi. Biarkan saja bertarung. Masalahnya, pengusaha-pengusaha kita ini tidak mau serius main di hilir. Produksi CPO saja menurut mereka sudah untung besar, kenapa harus repot-repot main di hilir?" jelas Suarambo. 

Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Eddy Abdurrahman mengatakan, saat ini lembaganya sudah jalankan program peremajaan sawit hingga 6 Desember dengan dana mencapai Rp 1,98 triliun.

"Rincian dana tersebut dengan membiayai sekitar 30 ribu kebun dan luasnya 171,237 hektar," kata Eddy dilansir law-justice.co.

Meski begitu, Eddy menuturkan kalau program peremajaan sawit belum mencapai angka setengahnya yakni 180 ribu pada tahun 2020 ini. Salah satu kendala karena adanya pandemi COVID-19, proses peremajaan di daerah hingga pusat jadi terhambat.

Masalah legalitas masih menjadi kendala penyaluran dana yang menyebabkan tidak memenuhi kriteria untuk program peremajaan sawit. Ditambah ada beberapa yang membatalkan terlibat dalam program karena lahan tersebut sudah dijaminkan ke Bank.

"Banyak kebun sawit yang berada di dalam kawasan hutan, sehingga tidak memenuhi kriteria untuk mengikuti program peremajaan sawit rakyat," tuturnya.(*/di)