Dua Peraturan Menteri Pertanian Jadi Beban, Membingungkan Pengusaha Sawit 

Jumat, 09 Juli 2021 - 17:29:37 WIB

Pekanbaru, Detak Indonesia--Perkembangan industri kelapa sawit di Tanah Air saat ini mengalami pertumbuhan setiap tahunnya, peningkatan terjadi baik luas area maupun produksi kelapa sawit seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat serta ekspor.

Hasil dari kelapa sawit menghasilkan crude palm oil (CPO). Produksi CPO di Indonesia sangat besar dan digunakan sebagai bahan baku produk-produk minyak baik untuk makanan maupun non makanan. Menurut buku statistik kelapa sawit yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik (BPS) seperti dilansir Riaupagi.com bahwa pada tahun 2018, luas area perkebunan kelapa sawit tercacat mencapai 14.326.350 hektare.

Untuk tahun 2019, luas area perkebunan kelapa sawit mencapai 14.724.420 hektare dan tahun 2020 mencapai 14.996.010 hektare. Dari data statistik, sebaran area perkebunan kelapa sawit yang paling luas ada di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan. Hal ini menjadikan kedua wilayah tersebut sebagai penghasil CPO terbesar di Indonesia.

Menurut data, Pulau Sumatera tahun 2018, memiliki luas lahan perkebunan kelapa sawit terbesar dibandingkan dengan pulau lainnya di Indonesia. Total luas areal perkebunan kelapa sawit di Pulau Sumatera mencapai 8.047.920 hektare. Setelah itu Pulau Kalimantan, yang pada 2018 memiliki perkebunan kelapa sawit terluas kedua di Indonesia dengan total perkebunan mencapai 5.588.075 hektare. Sebagian besar perkebunannya berada di Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.

Provinsi yang memiliki area perkebunan kelapa sawit terluas pada 2018 – 2020 di Indonesia yang pertama adalah Provinsi Riau, dan urutan kedua yakni Provinsi Kalimantan Barat. Posisi ketiga yakni Provinsi Kalimantan Tengah dan posisi keempat yakni Provinsi Sumatera Utara. Terakhir diposisi kelima yakni Provinsi Kalimantan Timur.

Pabrik Sawit Abaikan Aturan

Seiring perkembangan kebun kelapa sawit, bisnis ini juga indentik dengan Pabrik Kelapa Sawit (PKS). Diperkirakan ada 230 unit PKS yang ada di Provinsi Riau. Namun yang masih menjadi sorotan pihak pejabat eksekutif dan legislatif ternyata sebagian besar pelaku perusahaan pabrik sawit masih mengabaikan Peraturan Menteri Pertanian RI Nomor 98 Tahun 2013 yang mengharuskan pelaku industri sawit harus menyediakan kebun sawit inti setidaknya 20 persen. 

Kemudian heboh saat ini soal limbah pabrik kelapa sawit (PKS) PT Inti Indosawit Subur (PT IIS) Grup Asian Agri di Desa Dusun Tua Pangkalan Lesung Kabupaten Pelalawan. Saat ini sedang diproses oleh Pemerintah setempat menutup izinnya. 

Sebagian kenyataannya di Riau pelaku usaha PKS tidak punya kebun sawit sebagai pasokan bahan baku yang artinya masih membeli dari luar.

Seperti disebutkan Ketua Pansus (Panitia Khusus) Perizinan Perkebunan, Pertambangan, Kehutanan dan lain-lain DPRD Riau masa dijabat Suhardiman Amby mengakui, di Riau terdata ada 230 PKS, sebagian besar tidak punya kebun. Menurutnya para pengusaha PKS yang tak memiliki kebun jelas sudah melanggar aturan. 

"Semestinya PKS harus bisa pasok sendiri kebutuhannya sekitar 20 persen. Bahkan 12 PKS yang tergolong besar (BUMN) hanya mampu pasok kebutuhan sendiri sekitar 40 hingga 60 persen," kata Suhardiman Amby kembali menilai hal kehadiran PKS di Riau itu dalam bincang-bincangnya dengan awak media di Caffe To Jalan Arifin Ahmad, Pekanbaru belum lama ini.

Menurutnya, PKS tanpa kebun tetap menjadi awal persoalan.

"Bisa saja kan terjadi pembukaan lahan dari oknum dan masyarakat di kawasan yang dilarang seperti kawasan hutan dan sebagainya," sebut Suhardiman Amby yang pernah menjabat Panitia Khusus DPRD Riau ini dan juga Politisi Partai Hanura Daerah Pemilihan Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing).

Dia pun meragukan akibat rentetan PKS tanpa kebun selain dalam mencari pasokan bahan baku akan terjadi membeli buah sawit dari luar. Dampak lain, kalau terjadi pembukaan lahan tentu ada pembakaran. 

"Dengan pembakaran timbul asap, bencana ke mana-mana. Jadi selagi PKS ini tidak ditindak tegas yang tidak memenuhi aturan, bencana asap tidak akan pernah hilang," sebutnya memberikan solusi.

Kebingungan pun terus menyelimuti pelaku usaha terkait Peraturan Menteri Pertanian RI Nomor 98 Tahun 2013 ini. Semula Pabrik Kelapa Sawit (PKS) tanpa kebun pada awalnya diperkenankan dan telah membantu menyerap Tandan Buah Segar (TBS), namun dalam perkembangannya kembali dilakukan evaluasi terhadap aturan yang mengharuskan pabrik tersebut harus juga memiliki kebun sendiri. Peraturaan yang ada bahwa PKS disyaratkan untuk memiliki kebun sendiri yang mampu memasok pabrik minimal 20 persen.

Kehadiran pabrik tanpa kebun ini, seyogianya juga tak sejalan dengan Peraturan Menteri Pertanian RI Nomor 98 Tahun 2013 Tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.

"Permentan tersebut salah satunya mengatur mengenai keharusan bagi usaha industri pengolahan hasil kelapa sawit memenuhi paling rendah 20 persen kebutuhan bahan bakunya dari kebun yang diusahakan sendiri," jelas Suhardiman.

Beberapa di antara pabrik ini telah berupaya memenuhi persyaratan tersebut. Dalam hal ini, peran pemerintah kabupaten sangat penting dan dibutuhkan dalam mengawal kemajuan yang dilakukan oleh PKS tanpa kebun tersebut.

Suhardiman Amby

Namun mengingat disebutkan Badan Pekerja Nasional (Bakernas) Investigation Coruption Indonesia (ICI) H Darmawi Zalik Aris menilai, kehadiran PKS tanpa kebun di satu sisi telah memberikan pasar bagi petani ataupun pekebun sawit, mengingat saat ini jumlah PKS di Riau tidak sebanding dengan jumlah Izin Usaha Perkebunan (IUP) yang telah dikeluarkan.

Namun di sisi lain, kehadiran PKS tanpa kebun berpotensi mengganggu pasar bahkan berpotensi mengarah pada bentuk persaingan tidak sehat karena telah mengakibatkan terganggunya pasokan bahan baku bagi PKS yang memiliki kebun.

Ia melihat penawaran harga pembelian TBS oleh PKS tanpa kebun yang cenderung lebih tinggi daripada penawaran harga pembelian PKS yang terintegrasi, berpotensi menyebabkan para pekebun mengalihkan penjualan TBS mereka kepada PKS tanpa kebun. Hal tersebut tentu saja menyebabkan terganggunya kontinuitas pasokan bahan baku TBS produksi pabrik kelapa sawit yang selama ini bekerjasama dengan pekebun.

“Dampak negatifnya, kehadiran PKS tanpa kebun ini membuka persaingan harga yang tidak sehat, serta dapat merusak kemitraan antara PKS dan pekebun. Hal ini yang perlu pengawasan dan evaluasi pemerintah daerah guna memastikan bahwa pekebun memasok TBS mereka kepada PKS yang menjadi mitra mereka,” jelas dia.

Tak hanya menimbulkan persaingan yang tidak sehat dan merusak kemitraan PKS dan pekebun, namun kehadiran PKS tanpa kebun ini juga membuka celah penyerapan TBS dari sumber tanaman yang tidak jelas usia dan asal usulnya. Padahal besarnya harga TBS selama ini ditetapkan berdasarkan usia tanaman. 

“Karena tidak semua harganya sama, tergantung usia tanaman yang tentu mempengaruhi kualitas buah. Ketelusuran TBS ini sangat penting,” tutur dia.

Karena itu pihaknya juga mendorong PKS tanpa kebun yang ada saat ini di Riau segera memiliki kebun sendiri, minimal mampu memenuhi kebutuhan pabrik sebesar 20 persen. Dalam hal ini, peran pemerintah daerah sangat penting guna mengevaluasi kemajuan pembangunan kebun sawit oleh PKS tanpa kebun, sekaligus mengawasi persaingan usaha agar tidak mengganggu tata niaga.

Dia juga mengusulkan sekaligus menyarankan seyogyanya pemerintah daerah setempat membentuk tim untuk menilai sebaran pabrik yang ada di lapangan dan keterkaitannya terhadap sumber bahan baku milik pekebun non mitra dan sejauh mana penerapan Permentan.

Jika memang terbukti menyimpang dari ketentuan yang ada perlu segera ditertibkan. 

“Dalam aturan yang ada bahwa kegiatan usaha pengolahan hasil perkebunan dapat didirikan pada wilayah perkebunan swadaya masyarakat yang belum ada usaha pengolahan hasil perkebunan setelah memperoleh hak atas tanah dan perizinan berusaha dari pemerintah pusat,” jelas dia.

Pabrik sawit yang disebutkan tanpa kebun bagaikan 'gunug es' yang kian sulit ditertibkan, bahkan dinilai banyak menimbulkan kerugian-kerugian yang siap selalu akan muncul dipermukaan.

Pengakuan pelaku usaha pabrik sawit seperti disebutkan H Zulfikar, Direktur PT Mustika Agung Sawit Gemilang (PT MASG) pernah berucap usaha PKS nya memastikan untuk menaati semua aturan yang berlaku, termasuk soal kewajiban membangun atau bermitra dengan petani.

"Tentu, hubungan keduanya berasaskan saling menguntungkan. Bahkan untuk kelompok petani sawit mendapatkan keistimewaan berupa harga tandan buah segar (TBS) yang lebih tinggi,” ujarnya dalam bincang-bincangnya dengan awak media di sebuah Caffe di bilangan Jalan Arifin Achmad Pekanbaru belum lama ini.

Hanya saja dia mengaku bingung tentang Peraturan Menteri Pertanian RI Nomor 98 Tahun 2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha PKS yang diharuskan memiliki kebun inti 20 persen ini ditambah pula adanya Permentan Nomor 26 Tahun 2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan dimana poin penting dari permentan tersebut.

"Semangat dari regulasi ini diakui agar rakyat juga menikmati keuntungan dari budidaya perkebunan sawit. Namun untuk masalah ini perusahaan membangun mitra pada petani sawit dan tentunya ada saling meguntungkan yang didapat, yang terpenting kan salah satunya ada kepastian pasokan dan harga TBS untuk petani tetap tidak merugikan dari pabrik kelapa sawit," urainya.

Direktur PT MSAG Inhu Riau, Zulfikar

Sementara apakah pabrik kelapa sawit PT Mustika Agung Sawit Gemilang (MASG) di Kabupaten Indragiri Hulu Riau benar-benar telah menegakkan Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dan Undang Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS Kesehatan terhadap ratusan karyawannya, Zulfikar jawab:  "Maaf bang, saya tidak dapat menjawab pertanyaan yang abang sampaikan. Kami ada SOP untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kepada perusahaan," jelas Direktur PT MSAG Zulfikar. 

Pemerintah sudah dengan tegas memberikan sanksi bagi pemberi kerja (perusahaan) yang melanggar seperti tertuang dalam pasal 15 Undang-Undang No. 24 tahun 2011 telah menetapkan bahwa sanksi akan diberikan kepada pemberi kerja (perusahaan) yang gagal mendaftar dan membayar iuran untuk buruh yang bekerja pada mereka. Sanksi administratif berupa peringatan tertulis, ancaman pidana 8 tahun penjara dan denda sebesar Rp1.000.000.000,00.

PKS PT MSAG di Inhu Riau ini menurut warga tidak memiliki kebun inti, menampung TBS dari luar. 

Apa kata Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki)?

Kebingungan para pengusaha sawit dan pabrik sawit dengan aturan 20 persen lahan untuk kebun rakyat yang sudah diwajibkan sesuai Permentan Nomor 26 Tahun 2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan dijawab Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Joko Supriyono, mengatakan UU No. 39/2014 tentang Perkebunan mewajibkan perusahaan sawit untuk menyediakan 20 persen dari total luas lahan Hak Guna Usaha (HGU) bagi fasilitasi pembangunan kebun masyarakat (FPKM).

Namun, kata dia, hingga kini belum ada peraturan turunan dari UU itu yang menjelaskan terkait teknis kewajiban tersebut. Joko mengatakan sebetulnya ada tiga peraturan menteri yang mencantumkan soal FPKM, namun definisinya berbeda-beda. 

"Konsep kebun plasma sejak Orde Baru dianggap berhasil dalam memberikan keadilan bagi petani. Isu kebun masyarakat 20 persen sudah ada regulasinya namun menimbulkan multitafsir kalau tidak ada regulasi yang sinergis antar Kementerian," ujar Joko dalam seminar di Hotel Grand Melia belum lama ini.

Joko mengatakan multitafsir itu antara lain pembangunan kebun baru (jika lahan tersedia), peremajaan kebun swadaya (replanting), serta klasterisasi kebun swadaya (jika lahan tersedia).

"Kalau ada perusahaan yang mau lakukan replanting, seharusnya itu bisa dianggap sebagai komitmen 20 persen pembangunan kebun masyarakat. Lalu ada sekitar 3 juta kebun swadaya yang belum masuk program replanting tapi produktivitasnya jelek. Ini bisa masuk klasterisasi," tambahnya.

Joko mengusulkan tiga hal, yakni pertama, PP harus segera diterbitkan supaya tidak ada multitafsir. Kedua, harusnya di daerah tertentu seperti pinggiran tetap memerlukan pembangunan kebun masyarakat yang baru. Ketiga, kemitraan budidaya maupun replanting bisa menjadi program FPKM. 

"Ketiga hal ini harus dilakukan seiring dengan adanya Inpres 8/2018 tentang moratorium izin pembukaan lahan perkebunan sawit baru," pungkasnya.

Data Gapki tentang Kebun Sawit

Gabungan Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menuturkan jika kewajiban PBS dan PBN membangun kebun plasma seluas 20 persen dari total konsesi itu ada sejak terbitnya permentan tersebut, yakni pada 2007.  Data Direktorat Jenderal (Ditjen) Perkebunan menyebutkan, hingga akhir 2018 total kebun sawit di Indonesia mencapai 14.309.256 hektare (ha).

Kepemilikan kebun sawit tersebut terdiri atas perkebunan rakyat seluas 5.807.514 ha, PBN seluas 713.121 ha, dan PBS seluas 7.788.621 ha. Perkebunan rakyat ini terbagi menjadi dua, yakni kebun milik petani mandiri dan petani plasma yang luasnya sekitar 617.000 ha. Sepintas, kata Mangga Barani, perkebunan swasta tidak taat aturan karena kebun plasma hanya 8 persen dari total kebun swasta. Namun perlu diingat bahwa budidaya perkebunan kelapa sawit itu ada sejak penjajahan Belanda.

Sementara itu, kewajiban membangun dan bermitra dengan plasma itu ada sejak tahun 2007 seiring dengan terbitnya Permentan No 26/2007. Permentan tersebut diperkuat dengan UU No 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan yang juga mengamanatkan PBS maupun PBN membangun plasma sebesar 20 persen dari luas konsesi.

“Jadi swasta yang membangun kebun sebelum tahun 2007 itu tidak wajib membangun kebun plasma, karena memang tidak ada aturan yang mewajibkannya. Apalagi Permentan No 26/2007 tersebut tidak berlaku surut,” sebutnya.

Terkait dengan regulasi budi daya sawit di Indonesia hingga saat ini dinilai juga masih ada celah hukum terkait dengan kewajiban PBS dan PBN membangun kebun plasma. UU Perkebunan yang telah diundangkan sejak 2014 hingga saat ini belum memiliki Peraturan Pemerintah (PP) sebagai aturan pelaksanaannya. 

Sementara, selain tentang kebingungannya pelaku usaha melihat Peraturan Menteri Pertanian RI Nomor 98 Tahun 2013 juga Permentan No 26/2007 dinilai masih posisinya sangat lemah karena terbit sebelum ada UU Perkebunan. Dia pun meminta untuk memberikan kepastian hukum terhadap fasilitasi pembangunan kebun masyarakat (kebun plasma), perlu segera dibuat peraturan pelaksanaan dari UU Perkebunan dalam bentuk PP.

Ketua Umum Gapki Joko Supriyono mengatakan bahwa perusahaan kelapa sawit selalu patuh dengan regulasi yang diterapkan pemerintah Indonesia. Dia mengatakan bahwa kewajiban pembangunan kebun plasma 20 persen itu ada sejak tahun 2007 seiring dengan terbitnya Permentan No 26/2007.

Menurutnya, pembangunan kebun plasma itu membutuhkan lahan. Sementara sejak 20 Mei 2011 pemerintah melakukan moratorium pemberian izin baru untuk pembukaan lahan. Beleid ini tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) No 10/2011 tentang penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut. Jadi, sejak 20 Mei 2011 tidak ada izin baru yang dikeluarkan pemerintah untuk perusahaan swasta, sehingga bisa dipastikan tidak ada pembangunan kebun plasma baru. 

“Pembangunan kebun plasma baru itu bisa dilakukan jika ada izin baru. Jadi di sini pemerintah perlu menyediakan lahan untuk pembangunan kebun plasma baru,” kata Joko Supriyono.

KPPU Siap Tindak Tegas Perusahaan Pelanggar

Sementara Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) akan menindak tegas perusahaan perkebunan kelapa sawit yang tidak menerapkan pola kemitraan minimal 20 persen kepada petani plasma. Pasalnya, komisi ini masih sering menerima laporan aduan dari petani plasma kelapa sawit bahwa pola kemitraan itu tidak dilakukan oleh perusahaan perkebunan.

Padahal, UU No. 39/2014 tentang Perkebunan telah mengamanatkan kewajiban pola 80 persen (perusahaan inti) dan 20 persen (plasma) tersebut. Adapun, bunyi UU tersebut mewajibkan setiap perusahaan perkebunan memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar paling rendah seluas 20 persen dari total luas areal kebun yang diusahakan. Anggota Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Guntur Saragih mengatakan, KPPU segera menerapkan mekanisme penegakan hukum tersebut pada Mei 2019.

Pada tahap awal, jelasnya, KPPU akan memanggil kementerian teknis serta mendatangi pemerintah daerah yang telah memberikan izin langsung kepada perusahaan perkebunan. 

“Bulan depan sudah mulai fokus kepada kemitraan. Jadi KPPU mengawasi kemitraan tidak lagi pada tugas pencegahan tetapi penegakan hukum. Sanksinya adalah, KPPU merekomendasikan pemberi izin untuk menutup izin usaha, itu sanksi terberatnya,” kata Guntur pada media, Selasa (23/4/2019).

Hal itu disampaikannya dalam pertemuan Forum Group Discussion (FGD) bersama dengan Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Badan Koordinasi Penanaman Modal, Indonesia Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), dan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS). Setelah KPPU memberikan rekomendasi untuk mencabut izin usaha, jelasnya, instansi pemberi izin wajib memberlakukan sanksi tersebut maksimal 3 hari setelah keputusan inkrah atau berkekuatan hukum tetap.

“Kami akan bergerak menelisik potensi pelanggaran. Investigator kami sedang melakukan investigasi. Ini memang kasus per kasus. Tahapannya adalah penelitian, penyelidikan, pemberkasan, dan persidangan,” kata Guntur.

Dia menjelaskan, sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 17/2013 KPPU memiliki ke­wenangan untuk mengawasi dan me­ne­gakkan hukum atas pelaksanaan kemitraan antar pelaku usaha besar dengan UMKM. 

“UU itu mewajibkan pelaku usaha memiliki plasma, benar atau tidak lahan itu. Kalau tidak ada, artinya bodong maka penguasa lahan 20 persen itu berhadapan dengan KPPU. Sengketa reforma agraria memang belum sempurna, ada petani yang tidak tahu di mana kebun plasmanya. Semoga moratorium sawit menjadi memontum untuk kemakmuran rakyat sesuai konstitusi kita,” kata Guntur.

Sementara Ketua Presidium IHCS Gunawan mengatakan, pihaknya menyambut baik langkah KPPU yang masuk dalam ranah penegakan hukum dalam membantu tata kelola perkebunan kelapa sawit. Menurutnya, upaya KPPU sudah tepat karena banyak masalah di wilayah konsesi perkebunan kelapa sawit karena salah satunya minim campur tangan pemerintah dalam menangani persoalan kemitraan. 
“Tidak susah untuk menemukan data perusahaan yang sudah atau belum menerapkan kemitraan. Ada di Dinas Pertanian, Badan Penanaman Modal Daerah. Lalu, ketika perusahaan bekerja sama dengan koperasi, itu kan sepengetahuan bupati, seharusnya bupati mengerti lokasi kemitraan itu,” ujarnya.

Sebelumnya, Ketua SPKS Mansuetus Darto mengatakan bahwa 60 persen perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia masih belum membangun kebun plasma dengan pola kemitraan 20 persen. Dia menyebutkan, sekitar 14 juta hektare dari total luas lahan kebun kelapa sawit saat ini, kepemilikannya masih mayoritas dipegang perusahaan. 

“31 persen adalah luasnya milik petani swadaya dan 12 persen petani plasma, sisanya adalah milik perusahaan dengan besar 57 persen dikuasai perusahaan,” kata Mansuetus.

Pabrik Kelapa Sawit (PKS) 

Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) Dedi Junaedi mengatakan, luasan perkebunan plasma mencapai 617.000 hektare. Pihaknya sudah memperingatkan kepada pelaku usaha yang belum mengalokasikan minimal 20 persen untuk plasma akan mendapatkan sanksi pencabutan izin usaha perkebunan (IUP). 

“Sudah ada (dicabut) karena belum memfasilitasi kebun masyarakat. Bagi yang tidak memenuhi IUP untuk budidaya akan dicabut,” ujar Dedi.

Berdasarkan Data Kementerian Pertanian, luas perkebunan sawit Indonesia mencapai 14,03 juta hektare, dengan perincian perkebunan swasta seluas 7,7 juta hektare, perkebunan swadaya 5 juta hektare, dan kebun plasma luasan 617.000 hektare. (*/di/azf)