Aparat Penegak Hukum Harus Kawal UUCK dan Tak Ada Lagi Pidana

Senin, 26 Juli 2021 - 13:53:48 WIB

Ketum Santri Tani NU Kiyai T Rusli Ahmad (kiri) dan DR Moeldoko (kanan)

Jakarta, Detak Indonesia -- Ada yang menarik pada acara “Sosialisasi UUCK (Undang-Undang Cipta Kerja) beserta turunannya dan Pencegahan Karhutla” yang ditaja oleh Dewan Pimpinan Wilayah Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPW-Apkasindo) Riau dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Riau, 12 Juli 2021 lalu. 

Saat acara sosialisasi ini dibuka secara resmi oleh Ketua Umum Santritani NU Kiyai T Rusli Ahmad SE, para peserta sosialiasi yang disiarkan secara Virtual Zoom, Youtube dan Facebook, pada bingung, karena dikira Kiyai T Rusli Ahmad akan membawakan doa pembukaan. 

Bagi kebanyakan orang, mengenal Kiyai T Rusli Ahmad adalah tokoh Keberagaman Umat Beragama dan Suku. Kok bisa membuka acara yang sangat dinanti-nanti stakeholder sawit yang bukan hanya di Riau namun 26 Provinsi penghasil sawit seluruh Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari peserta yang hadir, dari Sabang sampai Merauke antusias mengikuti acara ini.

Pada pembukaan acara tersebut, Kiyai T Rusli Ahmad menyampaikan sebagai Bangsa Indonesia kita patut berbangga, Amerika saja 200 tahun baru bisa menghasilkan Undang-Undang Omnibus Law, tapi Indonesia hanya dengan 75 tahun berhasil menerbitkan UU Omnibus Law, tentu ini bukan pekerjaan mudah," ujar Kiyai RA, biasa T Rusli Ahmad dipanggil.

Di akhir arahannya Kiyai RA kembali menekankan kepada semua pihak tanpa kecuali, supaya sama-sama menghormati dan melaksanakan keputusan politik ini yang sudah syah diundangkan dalam negara NKRI. Jelas tertulis di dalam UU Cipta Kerja (Omnibus Law) tidak ada Pidana untuk sawit dalam kawasan hutan yang penanamannya sebelum November 2020. 

"Saya mengimbau kepada semua APH (Aparat Penegakan Hukum) supaya sama-sama mengawal keputusan politik dalam bentuk UU Cipta Kerja ini," ujar Kiyai Rusli Ahmad, mewakili Ketua Dewan Pembina DPP APKASINDO, Jend TNI (Purn) Dr Moeldoko SIP. 

"Kiyai T Rusli Ahmad merupakan Dewan Pembina/Penasihat DPP APKASINDO," ujar Pembawa Acara menjawab pertanyaan dalam hati peserta sosialisasi.
 
Saat sosialisasi UU Cipta Kerja ini sangat urgen dan informatif, karena semua narasumber sama-sama menyodorkan pemahaman yang sama bahwa pola penyelesaian kebun kelapa sawit dalam klaim kawasan hutan yang sudah tumbuh sebelum November 2020, diselesaikan dengan cara pengenaan sanksi administratif (ultimum remedium), bukan pidana. Tak terkecuali di Riau.

Adalah Kadis Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Riau, Dr Ir Mamun Murod MH, Kepala Balai Pemanfaatan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XIX Sofyan SHut MSc yang terang-terangan mengatakan seperti itu. Kebetulan aturan main soal sanksi administratif itu sudah ada dan tegas di Pasal 110A dan 110B UUCK. 

"Kita sedang menunggu perhitungan denda yang dimaksud dalam UU Cipta Kerja tersebut," jelasnya.

Waktu didapuk memberi Pengantar Sosialisasi, Murod menguraikan solusi sawit dalam kawasan hutan ini sudah rinci diatur dalam turunan UUCK, sanksinya juga Ultimum Remedium,” alias tidak ada pidana," katanya. 

Saat sesi Narasumber BPKH, Sofyan, dengan rinci menyampaikan teknis penyelesaiannya ada di PP 24 tahun 2021 dan Permen LHK tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan,” ujar Sofyan lebih rinci. 

Intinya kata Sofyan, kalau kebun sawit yang ada di dalam klaim kawasan hutan produksi, baik itu di HPT, HP maupun HPK yang sudah punya izin IUP, atau Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB), sesuai Pasal 110A, pekebun dikasih waktu tiga tahun sejak UUCK terbit (November 2020) untuk memenuhi persyaratan yang ditentukan. Jika belum punya izin atau STDB, silahkan melalui Pasal 110B, semuanya sudah bersolusi, tidak perlu dipolemikkan, malah semua harus mensyukuri lahirnya UU Cipta Kerja ini, untuk kepastian hukum dan keberlanjutan usaha.

Kalau persyaratan sudah terpenuhi dan lolos verifikasi, maka pekebun akan dapat persetujuan pelepasan kawasan hutan atau tipologi satu daur, tergantung tipologinya. Tapi kalau di Hutan Lindung atau Hutan Konservasi, pekebun cuma bisa melanjutkan usahanya itu selama 15 tahun. 

Lantas, bagi pekebun yang sudah menjalankan usahanya sebelum tahun 2018, pola penyelesaiannya tetap memakai pasal 110A. Soalnya aturan teknis STDB baru terbit pada 2018 oleh Dirjen Perkebunan. 

Satu lagi yang juga sangat penting adalah soal tumpang tindih kebun sawit dengan izin perusahaan. Kalau izin lebih dulu dari pekebun, maka perusahaan akan merangkul pekebun untuk menjadi mitra. Namun jika sebaliknya, maka luas izin perusahaan dikurangi, jadi semuanya sudah bersolusi dan semua harus memahaminya, tanpa kecuali," ujar Sofyan.

“Bagi masyarakat yang bertempat tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan paling singkat 5 tahun secara terus menerus dan mengelola kebun sawit paling banyak 5 hektare, mereka dibebaskan dari sanksi administratif, dan langsung diputihkan, ini juga harus kita pahami," katanya. 

Kapolda Riau, Irjen Pol Agung Setya Imam Effendi SH SIK MSi, yang diwakili oleh Kabidkum Polda Riau, Kombes Pol Dr Endang Usman MH yang juga menjadi narasumber mengatakan bahwa Polda Riau akan segera melakukan sosialisasi ultimum remidium kepada semua jajarannya, hingga ke Polres. 

“Biar tercipta satu pemahaman yang selaras dan berdasarkan regulasi yang sudah diundangkan,” katanya. 

Dzakiyul Fikri SH MH, Asisten Perdata dan Tata Usaha Negara yang menjadi pembicara mewakili Kajati Riau Dr Jaja Subagja SH MH, sepakat untuk mengedepankan pendekatan persuasif, non ligitasi dalam penyelesaian persoalan kawasan hutan itu.

Dr Sadino SH MH, Praktisi Hukum dan Akademisi, saat memberikan materinya, menyampaikan bahwa UUCK memang belum sempurna, belum mewakili semua permasalahan yang ada perihal sawit yang masih terjebak dalam Kawasan hutan, tapi paling tidak UUCK ini sudah membuka jalan atas kebuntuan total selama ini, sehingga gugatan-gugatan sawit dalam kawasan hutan dan permasalahan hukum lainnya sudah clear, tak perlu lagi dipolemikkan, ya ini amanah UU Cipta Kerja dan tanpa kecuali dan Presiden Jokowi sudah tegas mengatannya.

Bagi anggota Dewan Pakar Bidang Hukum dan Advokasi DPP Apkasindo, Samuel Hutasoit SH MH CLA, semua pernyataan para narasumber itu sangat realistis dan mengayomi, petani sawit sangat mengapresiasi, karena para pekebun yang tidak punya STDB tetap dikasih kesempatan menyelesaikan persoalan klaim kawasan hutan lewat mekanisme Pasal 110A, itu clear.

Samuel kemudian meminta supaya semua petani sawit yang ada di 22 DPW Provinsi perwakilan DPP Apkasindo untuk segera mengambil kesempatan ini. 

“Ukur dan petakan kebun sawit yang ada di klaim kawasan hutan itu, lalu hubungi tim percepatan paduserasi implementasi UUCK DPP Apkasindo, waktu kita sangat sempit, hanya 3 tahun,” pintanya.

Sekjend DPP APKASINDO, Rino Afrino ST MM, ketika dihubungi (25/7/2021) kembali mengimbau semua petani sawit dari Sabang sampai Merauke, 22 Provinsi Perwakilan DPP APKASINDO, supaya melaporkan permasalahan kebun sawitnya yang masih terjebak dalam kawasan hutan kepada Tim Percepatan dan Paduserasi UUCK DPP APKASINDO.

"Terkhusus yang mau ikut Program Presiden Jokowi yaitu PSR (Peremajaan Sawit Rakyat), waktu kita tidak banyak, tinggal 2,5 tahun lagi," ujar Rino.
 
"Kami berharap rekan-rekan media untuk membantu kami APKASINDO, menginformasikan kepada masyarakat luas tentang UU Cipta Kerja dan turunannya terkhusus terkait penyelesaian keterlanjuran sawit yang diklaim dalam kawasan hutan. Semua ingin ada kepastian hukum, baik itu Pekebun maupun Korporasi, dan ini adalah solusinya," ujar Rino. (*/di)