Bung Romi: Stake Holder yang Memiliki Tanggungjawab untuk Selesaikan Konflik Ini

Sabtu, 09 Oktober 2021 - 12:15:24 WIB

Parit gajah yang digali korporasi PT Duta Palma Nusantara di Kabupaten Kuansing, Riau mengakibatkan putusnya akses jalan ke kebun sawit warga satu-satunya sumber terakhir kehidupan ekonomi masyarakat di tengah badai pandemi Covid-19. Namun perusahaan yang

Pekanbaru, Detak Indonesia – konflik lahan antara korporasi dengan masyarakat selalu terjadi di tengah negeri ini. 

Teranyar, konflik lahan antara korporasi dengan masyarakat di Kabupaten Kuantan Singingi, Riau.

Di dalam video yang tersebar luas di jejaring aplikasi pesan WA, dan beritanyapun viral, pihak perusahaan entah sengaja atau tidak menggali parit gajah yang konon kabarnya di luar dari wilayah HGU yang mereka miliki sehingga membuat masyarakat tidak lagi memiliki akses ke kebun mereka.

Sementara sumber penghidupan masyarakat hanya berasal dari hasil panen sawit milik mereka sendiri!

Tentu ini sangat ironi, masyarakat yang terdampak ekonominya dan dengan seadanya mencoba bertahan hidup akibat dari pendemi covid-19 yang belum juga reda, bertambah lagi penderitaan mereka karena tidak lagi memiliki akses untuk menuju sumber penghidupannya.

Bung Romi

Nampak seorang ibu-ibu menangis tersedu sedan melihat perkasanya mesin eskapator milik perusahaan menggali tanah membentuk parit gajah menghalangi akses masuk masyarakat untuk menuju kebun milik warga. Hal ini sedang ditangani anggota Komisi II DPRD Riau asal Kuansing Marwan Yohanis. Dan sedang dicarikan solusi apakah akan dipanggil perusahaan tersebut.

Nampak dari raut wajah mereka yang tak berdaya menghentikan mesin eskapator itu yang dikawal oleh security perusahaan yang berseragam coklat menggunakan sepatu PDL pun nampak berbadan tegap, gagah dan perkasa. Sementara bos perusahaan itu kini DPO dan dicari KPK.

Ditambah lagi beberapa orang yang berpakaian bebas, saat dihampiri oleh aktivis muda Kuansing membawa lembaran kertas yang berisikan imbauan dari Wakil Bupati Kuansing Suhardiman Amby SE Ak ingin menegosiasikan kepada pihak perusahaan untuk menghentikan penggalian parit gajah itu dengan gastur tubuh yang santai sembari menghembuskan asap rokoknya, karyawan perusahaan yang bertubuh gempal itu dikawal oleh beberapa security perusahaan yang sebagian dari mereka dengan posisi handphone merekam wajah para aktivis muda itu dan kawan- kawannya mengatakan humas yang bisa mengambil keputusan.

Sementara di seberang jalan tidak jauh dari pekerjaan penggalian parit gajah itu para ibu-ibu duduk termangu dan menangis meminta keadilan atas hak tanah mereka di negeri bermarwah Melayu.

Anggota Komisi II DPRD Riau Marwan Yohanis

Adakah keadilan untuk mereka?

Profesor JE Sahetapi di dalam tulisannya yang berjudul Hukum dan Keadilan, yang ditulisnya pada Februari 1991 mengatakan, makna kata hukum dan keadilan merupakan hal yang sangat terkait, saling isi mengisi, bahkan nilai yang terkandung di dalamnya amat diperlukan bagi umat manusia dalam suatu masyarakat ataupun negara. 

Ia juga mengingatkan bahwa permasalahan hukum dan keadilan harus sebaiknya ditelaah dengan sebaik-baiknya, karena sangat relatif, relasional, dan kontekstual sifatnya.

Menyambung pada permasalahan yang terjadi di Kuansing itu, tentu sangat relevan. Para penguasa negeri Kuansing Bermarwah harus benar-benar bijaksana dalam menyelasikan permasalahan ini.

Di satu sisi, ada kepentingan korporasi, dengan nilai investasinya, tetapi di sisi lain ada rakyatnya yang menuntut keadilan.

Di tempat terpisah, Ketua DPD Aliansi Pewarta Pertanian Indonesia (APPI) Provinsi Riau, bung Romi mengatakan pengusaha sawit wajib alokasikan 20 persen lahan di luar HGU untuk petani rakyat.

"KEMENTERIAN Pertanian menegaskan bahwa kewajiban alokasi lahan milik pengusaha sawit bagi petani rakyat seluas 20 persen merupakan lahan yang berada di luar Hak Guna Usaha (HGU) yang sudah dimiliki," ujar bung Romi di hadapan awak media, Sabtu (9/10/2021).

Dengan demikian, pengusaha sawit harus menambah 20 persen kepemilikan lahan untuk diberikan kepada petani rakyat. 

Perusahaan perkebunan yang melanggar kewajiban tersebut dikenai sanksi administratif berupa denda, pemberhentian sementara dari kegiatan Usaha Perkebunan, dan/atau pencabutan Izin Usaha Perkebunan. 

Undang-Undang (UU) Nomor 39/2014 tentang Perkebunan mewajibkan setiap perusahaan perkebunan memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar paling rendah seluas 20 persen dari total luas areal kebun yang diusahakan, seperti diatur dalam Pasal 58, Pasal 59 dan Pasal 60. 

Pembangunan kebun sawit bagi masyarakat sebagaimana dimaksud dapat dilakukan melalui pola kredit, bagi hasil, atau bentuk pendanaan lain yang disepakati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. 

Kewajiban memfasilitasi pembangunan kebun tersebut harus dilaksanakan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Hak Guna Usaha diberikan dan harus dilaporkan kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.

Maka dari itu diserukan kepada stake holder yang memiliki tanggungjawab untuk menyelesaikan konflik ini, yang telah di sumpah jabatan di bawah kitab suci agar berlaku adil dalam menyelesaikan konflik ini sesuai dengan amanah sila ke lima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. MAJULAH NEGERIKU.(*/di)