Ariadi Tarigan

Anggota Komisi II DPRD Siak Minta Cabut Izin PT DSI

Di Baca : 1979 Kali
Foto Istimewa ( Detakindonesia.co.id)

Siak Sri Inderapura, Detak Indonesia --  Anggota Komisi II DPRD Kabupaten Siak Ariadi Tarigan sangat menyesalkan keputusan Pengadilan Negeri (PN) Siak Sri Inderapura yang telah membebaskan Eks Kadishutbun Siak Teten Effendi dan Direktur PT Duta Swakarya Indah (DSI) Suratno Konadi. 

Padahal, kedua orang tersebut telah menggunakan SK Mentri Kehutanan yang  kedaluwarsa untuk mendapatkan izin lokasi (Inlok) dan Izin Usaha Perkebunan (IUP).

"Itu keputusan gila. Apa itu alasan hukumnya kedua terdakwa dibebaskan. Ini benar-benar gila dan patut kita curigai. Saya akan terus suarakan ini agar majlis hakimnya diusut," kata Ariadi Tarigan kepada awak media, Senin 12 Agustus 2019.

Ariadi Tarigan bakal melaporkan majlis hakim yang menyidangkan perkara dugaan pemalsuan itu dan Ketua PN Siak Bambang Trikoro ke Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung (MA). Majlis hakim yang menyidangkan perkara dugaan pemalsuan dengan terdakwa Teten Effendi dan Suratno Konadi itu adalah Rozza El Afrina, hakim ketua dan Risca Fajarwati dan Selo Tantular hakim anggota.

Menurut Ariadi, KY dan MA harus mempelajari tindak tanduk dan track record majlis hakim. Seperti hakim Rozza El Afrina yang sempat disebut namanya di sejumlah media dalam perkara Ongo, di Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat, 2013 lalu. Waktu itu majlis hakim, di dalamnya ada Rozza El Afrina menolak gugatan penggugat sehingga Ongo terbebas dari denda. 

"Sedangkan pada perkara PT DSI, hakim Rozza El Alfrina juga membebaskan Teten dan Suratno, padahal permohonan izin yang diajukan sempat ditolak 2 kali oleh bupati Siak. Ini bukan lagi mengherankan, tapi sangat mengherankan," tambah politikus Hanura itu.

Ia juga bakal melaporkan Ketua PN Siak Bambang Trikoro yang diduga melakukan pembohongan publik. Sebab, Bambang Trikoro sesumbar di media massa tidak akan menunjuk majlis hakim yang pernah menyidangkan perkara PT DSI dalam perkara dugaan pemalsuan SK Menhut. Nyatanya, Bambang Trikoro tetap menunjuk majlis yang juga menyidangkan perkara PT DSI dengan nomor perkara yang berbeda.

"Kita bisa lihat jejak digitalnya, jelas pernyataan Bambang Trikoro untuk tidak menunjuk majlis yang sama,  tapi ini tetap ditunjuk majlis yang sama. Apakah itu bukan pembohongan publik?," kata Ariadi.

Selain itu, ia juga mendapat informasi ada pertemuan pihak PT DSI dengan pihak PN Siak di luar persidangan di PN Siak. Padahal, pertemuan para pihak berperkara dengan pihak pengadilan di luar persidangan merupakan pelanggaran etika.

"Kita juga ingin mendapat klarifikasi dari pihak PN Siak apakah informasi itu benar atau tidak. Kalau benar akui, kalau tidak jawab, jangan seakan-akan menyembunyikan informasi yang telah beredar di publik," kata dia.

Ariadi juga meminta agar Bupati Siak Alfedri mencabut izin PT DSI. Alasannya, selain SK Menhut nomor 17/Kpts.II/1998 tentang Pelepasan Kawasan Hutan yang digunakan untuk mengurus izin sudah mati dengan sendirinya, hingga saat ini HGU PT DSI juga tidak ada.

"Kawasan izinnya juga tidak sesuai lagi dengan Permentan Nomor 57 tahun 2007. Kawasan juga tidak sesuai dengan peruntukkan yang ditetapkan Bupati Siak Arwin AS," kata dia.

Jimmy salah seorang warga pemilik lahan di Dayun, kabupaten Siak, sebelumnya melaporkan Direktur PT DSI Suratno dan Eks Kadishutbun Siak Teten Effendi ke Polda Riau karena ada klaim izin Menhut di atas lahan yang dimilikinya. Pada 2009 PT DSI datang ke lokasi kebun miliknya yang sedang dikelola oleh PT Karya Dayun untuk dijadikan kebun sawit.

"Ketika itu pengelolaan telah berlangsung kurang lebih 5 tahun sehingga pohon sawit telah berusia 3-4 tahun atau berbuah pasir," kata Jimmy.

PT. DSI mengaku dan mengklaim lahan kebun milik masyarakat yang dikelola PT Karya Dayun sebagai miliknya. Pihak PT DSI menunjukkan Izin Pelepasan Kawasan Hutan (IPKH) Nomor 17/Kpts-II/1998 tanggal 6 Januari 1998.

"Selama ini saya membuka perkebunan yang dikelola oleh PT Karya Dayun, tidak pernah mengetahui adanya kepemilikan lain selain saya dan kawan -kawan membeli lahan tersebut secara sah," kata dia.

Ia merasa curiga dengan dasar klaim PT DSI, sehingga ia meneliti dasar pengakuan dari PT. DSI yaitu IPKH Nomor 17/Kpts-II/1998 tanggal 6 Januari 1998. Setelah diperhatikannya izin pelepasan tersebut ternyata penentuannya ada pada Dictum Kesembilan.

"Apabila PT DSI tidak memanfaatkan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan yang tercantum pada dictum pertama dan atau menyalahgunakan pemanfaatannya dan atau tidak menyelesaikan pengurusan HGU dalam waktu 1 tahun sejak diterbitkannya keputusan itu, maka pelepasan kawasan hutan ini batal dengan sendirinya," terang dia.

Sesuai dengan dasar klaim itu, ternyata PT DSI belum memanfaatkan kawasan hutan sesuai izin tersebut serta tidak menyelesaikan HGU sampai batas waktu yaitu 1 tahun sejak diterbitkan SK Pelepasan, 1 Januari 1998.

"Karenanya saya menolak pengakuan atau klaim dari PT. DSI," kata dia.

Akibat penolakan tersebut, PT DSI melakukan upaya hukum gugatan perdata ke PN Siak dengan menggugat PT Karya Dayun meskipun PT DSI mengetahui pemilik asli dari lahan yang digugatnya tersebut bukan PT Karya Dayun. Hal itu sesuai sebagaimana terdaftar di kepaniteraan PN Siak nomor 07/PDT.G/2012/PN.Siak tanggal 26 Desember 2012.

Menariknya, pada tingkat PN Siak dan PT Riau PT DSI memenangkan perkara tersebut. Pada tingkat MA gugatan PT DSI dinyatakan tidak dapat diterima. Akhirnya PT DSI melakukan upaya PK dengan berbagai alasan.

"Mereka menyampaikan alasan, pada proses kasasi seolah- olah ada berkas mereka yang tidak ikut dikirim oleh oknum PN Siak sehingga mereka menulis surat kemana -mana termasuk kepada KY," kata dia.

Setelah adanya putusan PK ternyata berkas -berkas yang dinyatakan tidak dikirim tersebut, saat ini ada pada PH PT DSI. Alasan lain juga tidak dapat diterima sehingga dikesankan mengajukan novum yang direkayasa.

"Atas latar belakang itu  saya membuat laporan kepada Polda Riau untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan atas adanya dugaan menggunakan surat yang tidak benar," kata dia.

Penggunaan surat yang tidak benar tersebut yaitu IPKH Nomor 17/Kpts-II/1998 tanggal 6 Januari 1998 yang telah mati dengan sendirinya. Surat itu juga digunakan untuk menerbitkan izin- izin lainnya, seperti Inlok berdasarkan Surat Keputusan dari Bupati Siak Nomor 284/HK/KPTS/2006 tanggal 8 Desember 2006 dan IUP oleh Bupati Siak Nomor 57/HK/KPTS/2009 tertanggal 22 Januari 2009, untuk kemudian memenangkan perkara. (DI/Rls)






[Ikuti Terus Detakindonesia.co.id Melalui Sosial Media]






Berita Lainnya...

Tulis Komentar