PEMERIKSAAN PEJABAT TINGGI POLDA RIAU, POLRES SIAK OLEH TIM MABES POLRI MASIH BERLANGSUNG

SP3 Kasus Eks Bupati Siak oleh Polda Riau, Ini Pendapat Ahli Hukum Pidana Forensik

Di Baca : 998 Kali
Pakar dan Ahli Hukum Pidana Forensik Independen, Dr Robintan Sulaiman SH MH MA MM CLA.

Pekanbaru, Detak Indonesia--Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Riau resmi menghentikan penyidikan (SP3) perkara dugaan pemalsuan surat atau menggunakan surat palsu dengan tersangka eks Bupati Siak dua periode, Arwin AS SH dengan alasan tidak cukup bukti.

Keputusan itu tertuang dalam Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) Nomor B/410.b/I/RES.1.11/2023/ Ditreskrimum telah dikirim kepada Pelapor Jimmy.

SP2HP itu tertanggal 10 Januari 2023 itu langsung ditandatangani Kombes Asep Darmawan selaku Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Riau.

Menyikapi hal itu, Ketua DPP LSM Perisai Riau selaku kuasa Pelapor Jimmy, Sunardi SH mengungkapkan, pihaknya beberapa bulan yang lalu telah bersurat ke Polda Riau untuk mempertanyakan terkait penetapan tersangka eks Bupati Siak Arwin AS.

"Seluruh berkas-berkas itu sudah dinyatakan lengkap dan hal ini juga atas dasar perintah dari Mabes Polri sudah cukup bukti. Dari hasil gelar di Mabes Polri beberapa waktu lalu, itu disebutkan semuanya cukup bukti," tegas Sunardi, di Pekanbaru, Senin (6/2/2023).

 

Kata Sunardi, penghentian penyidikan (SP3) oleh Ditreskrimum Polda Riau yang berdasarkan hasil gelar pada tanggal 16 Agustus 2022 sangat disayangkan. Karena berkas yang sudah dinyatakan lengkap dan mestinya layak untuk disidangkan, namun dihentikan dengan alasan tidak cukup bukti. Ada apa ini?

"Ini ada sesuatu hal yang aneh sehingga kami mencurigai kenapa terjadi penghentian ini. Saya menilai bukan karena tidak cukup bukti, namun saya menduga ada hal lain dalam kasus Arwin AS ini," beber Sunardi.

Dibeberkan Sunardi, ketika SP2HP diserahkan kepada Jimmy, Pelapor merasa kaget karena dirinya tidak pernah dilibatkan dalam gelar perkara proses penghentian perkara tersebut.

"Itu tidak melibatkan si Pelapor, sehingga kami sangat menyayangkan kenapa Ditreskrimum Polda Riau menghentikan perkara eks Bupati Siak Arwin AS itu tidak melibatkan si Pelapor. Sehingga tidak ada hak dan kesempatan Pelapor memberikan argumen sebelum disimpulkan untuk dihentikan," bebernya.

Sunardi mengungkap, selain eks Bupati Siak Arwin AS yang ditetapkan jadi tersangka, ada dua orang lainnya dengan status yang sama yakni Teten Effendi dan Suratno Konadi, dimana dalam kasus ini ketiganya memiliki peran yang berbeda.

 

Kasus Arwin AS, pada 2003 dan 2004 lalu, Arwin sebagai Bupati Siak telah dua kali mengeluarkan surat penolakan terhadap izin lokasi yang diajukan oleh PT Duta Swakarya Indah.

"Pak Arwin AS pada 2003 dan 2004 sudah dua kali mengeluarkan surat penolakan terkait permohonan izin lokasi PT DSI dengan alasan tidak sesuai lagi dengan peraturan yang berlaku serta tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Siak. Kemudian, pada 2006 tiba-tiba Arwin AS mengeluarkan Izin lokasi, artinya dia membuat keterangan-keterangan yang tidak benar.

Sunardi mengungkap, pada 31 Januari 2023 lalu, pihaknya telah menerima surat dari Kompolnas yang menjelaskan sebab-musabab Polda Riau menghentikan penyidikan atas tersangka Arwin AS dengan alasan tidak cukup bukti berdasarkan gelar perkara pada 16 Agustus 2022 lalu.

"Dalam SP2HP itu tidak tertuang adanya gelar pada 16 Agustus 2022, ini kan hal yang aneh juga. Kompolnas diberikan informasi dasar penghentian adanya gelar, sedangkan di SP2HP itu sendiri tidak ada. Ini kan patut dipertanyakan apakah benar atau tidak, atau perlu dikroscek benar atau tidak adanya gelar perkara di tanggal 16 Agustus 2022 itu," tanyanya heran.

Terkait polemik ini, Pakar dan Ahli Hukum Pidana Forensik Independen, Dr Robintan Sulaiman SH MH MA MM CLA memberikan penjelasan, soal penetapan tersangka, pemalsuan surat dan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).

 

"SP3 itu berdasarkan gelar perkara, harus menghadirkan para pihak untuk menentukan hasil dari pada penyidikan," ujarnya melalui sambungan telepon kepada wartawan dari Melbourne, Australia, Senin (6/2/2023).

Sedangkan penetapan tersangka, menurutnya, paling sedikit penyidik minimal memiliki 2 bukti yang kalau diadministrasikan dalam bentuk sita namanya berganti menjadi alat bukti.

"Jadi dalam Pasal 184 KUHAP itu jelas ada lima, ada surat, keterangan ahli, keterangan tersangka, saksi, dan bukti-bukti petunjuk. Kalau dua di antara lima syarat tersebut terpenuhi, penyidik dapat menetapkan seseorang sebagai tersangka," jelasnya.

Selain dua bukti, penyidik lebih sering menggunakan tiga atau empat bukti, karena dalam penyidikan tersangka memberikan keterangan yang membantah.

"Karena ini sudah menjadi tersangka, biasanya jarang sekali penyidik itu memakai dua, dia kadang memakai tiga atau empat (bukti, red). Karena keterangan dari tersangka itu tidak selalu dibutuhkan, karena tersangka boleh mengelak atau pembantah dan tidak dinilai oleh penyidik," ungkapnya.

 

Masalah pemalsuan, masih kata Dr Robintan, hal itu diatur dalam KUH Pidana yang dibagi menjadi dua bentuk. Pertama, yang belum ada sama sekali kemudian dibuat, itu namanya palsu. Kedua, yang sudah ada diubah sedemikian rupa substansinya sehingga menjadi palsu.

"Selain itu jenis pemalsuan juga ada dua, pertama pemalsuan secara bawah tangan atau tidak dibuat di hadapan publik oleh pejabat publik. Kedua, pemalsuan akte otentik. Artinya, isinya yang tidak benar itu dicantumkan dalam akte otentik. Akte otentik itu adalah akte yang dibuat di hadapan pejabat publik oleh pejabat yang ditunjuk pemerintah dan pejabat publik yang berdasarkan Undang-Undang diberikan kewenangan, seperti Notaris dan PPAT. Akte yang dikeluarkan oleh pejabat di atas adalah otentik," jelasnya.

"Jika seseorang disangkakan telah melakukan tindak pidana pemalsuan, hal itu pasti sudah memenuhi unsur atau elemen-elemen yang sudah diatur dalam Undang-Undang," pungkasnya.

Terpisah sebelumnya, Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda Riau Kombes Asep Darmawan ketika dikonfirmasi membenarkan telah menghentikan perkara tersebut. Alasannya karena dua tersangka lainnya dalam kasus yang sama diputus bebas.

"Iya dihentikan, karena 2 tersangka lainnya dalam perkara yang sama di putus bebas," katanya melalui pesan WhatsApp, Jum'at malam lalu (3/2/2023) kepada wartawan.

 

Tersangka yang diputus bebas yakni mantan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Siak, Riau Teten Effendi dan Direktur PT Duta Swakarya Indah (DSI) Suratno Konadi.

Untuk diketahui, tepat pada Selasa (23/7/2019) lalu, Pengadilan Negeri Siak telah memvonis bebas Teten Effendi dan Suratno Konadi dalam kasus dugaan pemalsuan Surat Keputusan Menteri Kehutanan tentang pelepasan kawasan hutan. Majelis hakim menilai kedua terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tidak pidana seperti yang dituntut Jaksa Penuntut Umum.

Diperiksa Tim Divpropam Mabes Polri

Pejabat Tinggi Polda Riau, Polres Siak diperiksa intensif Tim Divpropam Mabes Polri sejak sepekan lalu hingga Senin (6/2/2023) terkait kasus PT DSI ini. Pemeriksaan di Mapolda Riau dilakukan pagi hari sampai tengah malam terhadap penyidik di Subsit II Ditreskrimum Polda Riau hingga pejabat tinggi lainnya.

Demikian juga di Mapolres Siak di Siak Sri Indrapura, penyidik Satreskrim Polres Siak diperiksa intensif penyidik Divpropam Mabes Polri mulai pagi hari hingga dinihari pukul 01.30 WIB. Satu oknum polisi Polres Siak yang memukul warga Dayun saat giat constatering/pencocokan dan eksekusi salah sasaran lahan kebun sawit warga 12 Desember 2022 lalu juga sudah ditahan penyidik Divpropam Mabes Polri. (tim)






[Ikuti Terus Detakindonesia.co.id Melalui Sosial Media]






Berita Lainnya...

Tulis Komentar