KEHADIRAN INVESTASI MERUSAK LINGKUNGAN HIDUP

Cabut Konsesi Grup PT RGM, Jokowi Serahkan Pengelolaan ke 7 Desa di Meranti

Di Baca : 2948 Kali
Direktur Eksekutif WALHI Riau Riko Kurniawan, memberikan keterangan pers kepada wartawan di Sekretariat WALHI Riau di Pekanbaru, Senin (20/3/2017).
[{"body":"

Pekanbaru, Detak Indonesia<\/strong>--Setelah berjuang hampir 10 tahun, akhirnya masyarakat 7 Desa di Kecamatan Tebingtinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau berhasil merebut daulat penuh wilayah kelola lahannya. Sejarah perjuangan masyarakat Desa Sungai Tohor, Sungai Tohor Barat, Nipah Sendanu, Sendanu Dahrul Iksan, Tanjung Sari, Lukun dan Kepau Baru berawal dari penerbitan Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 217\/Menhut-II\/2007 tentang Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri kepada PT Lestari Unggul Makmur (PT LUM) 31 Mei 2007 seluas 10,390 hektare di ekosistem hutan rawa gambut yang merupakan lokasi tempat mereka mencari nafkah. <\/p>\r\n\r\n

Dari awal menerima kabar penerbitan izin, sosialisasi oleh korporasi tersebut pada 2008, hingga beraktivitas pada 2009 secara konsisten mereka tolak. Bahkan pada 2009, aktivitas land clearing dan pembangunan kanal besar perusahaan bisa mereka hentikan dengan strategi perlawanan tanpa kekerasan.<\/p>\r\n\r\n

“Sejarah perlawanan keberadaan PT LUM bermula dari Sungai Tohor dan menyebar cepat ke desa-desa lain yang masuk dalam peta wilayah konsesi, hebatnya lagi desa yang tidak masuk areal konsesi yang berada di Kecamatan Tebingtinggi Timur juga ikut bersolidaritas menolak keberadaan PT LUM,” ujar Efendi, Kepala Desa Sungai Tohor.<\/p>\r\n\r\n

Berangkat dari semangat dan konsistensi perlawanan 7 Desa tersebut, WALHI Riau pada 2009 ambil bagian bersolidaritas mendampingi masyarakat mempertahankan wilayah kelola dan ekosistem rawa gambut sumber penghidupan mereka. Konsolidasi dan perluasan dukungan mulai dibangun, bahkan beberapa seniman nasional juga turut membantu perjuangan masyarakat. Tercatat ada Fadly, Rindra, Ring of Fire, Iksan Skuter dan Melanie Subono yang bersolidaritas terhadap perjuangan masyarakat. <\/p>\r\n\r\n

Puncak penggalangan dukungan publik terhadap penolakan kehadiran PT LUM (grup PT RGM) terjadi pada 2014. Saat itu, WALHI bersama beberapa lembaga jaringan lainnya dan Abdul Manan, tokoh masyarakat Sungai Tohor membuat sebuah petisi online meminta Joko Widodo selaku Presiden Indonesia yang belum genap sebulan melaksanakan tugasnya melakukan blusukan ke Sungai Tohor untuk melihat bekas kebakaran dahsyat yang terjadi di lokasi tersebut pada 2014. Selain itu, juga hendak memperlihatkan kepada Presiden bahwa kehadiran investasi justru merusak lingkungan hidup dan mengancam kearifan lokal masyarakat dalam memanfaatkan dan melindungi ekosistem hutan rawa gambut Tebingtinggi Timur.<\/p>\r\n\r\n

Dalam beberapa pekan, petisi menembus angka dukungan lebih dari 20 ribu. Dukungan yang begitu besar ini akhirnya mendapat respon positif, Presiden Joko Widodo akhirnya ia melakukan “blusukan asap” ke Sungai Tohor pada 27 November 2014. Kedatangan Presiden ke Sungai Tohor menghadirkan sebuah angin segar bagi perjuangan mengusir PT LUM dari 7 Desa di Kecamatan Tebing Tinggi Timur. Pada saat hadir, Presiden tidak hanya berkomitmen melawan kebakaran hutan dan gambut, tetapi juga berkomitmen mengkaji ulang izin PT LUM dan menyerahkannya untuk dijaga dan dimanfatkan sepenuhnya untuk kepentingan masyarakat. <\/p>\r\n\r\n

“Perjuangan dorongan pencabutan izin yang kami mintakan bersama masyarakat bukan pekerjaan mudah. Bahkan pasca janji tersebut, kami tidak hanya diam, namun semakin giat melakukan konsolidasi dan perluasan dukungan. Guna menegaskan tagih janji ini, pada Juni 2015, setelah 6 bulan komitmen yang dijanjikan belum terlihat titik terangnya, kami bersama masyarakat 7 desa melakukan sebuah festival gerakan tagih janji Jokowi,” ujar Riko Kurniawan, Direktur Eksekutif WALHI Riau, Senin (20\/3\/2017).<\/p>\r\n\r\n

Janji Presiden tersebut menjadi penting untuk terus diingatkan, agar pemerintah secara serius melakukan penegakan hukum terhadap korporasi pembakar hutan dan lahan gambut sehingga menimbulkan efek jera. Kami meyakni bahwa upaya restorasi gambut harus dibarengi dengan penegakan hukum dan memperkuat kebijakan moratorium Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Primer dan Lahan Gambut dan segera mengeluarkan kebijakan moratorium perkebunan sawit. Komitmen Presiden tersebut hendaknya menjadi kebijakan bersejarah, bagaimana pemerintah mengakui kesalahan masa lalu dalam tata kelola gambut melalui pembenahan secara sistematis dan struktural, termasuk di dalamnya kebijakan mengatasi ketimpangan penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam yang selama ini sebagian besar dikuasai oleh korporasi.<\/p>\r\n\r\n

Buah dari festival ini mulai terlihat pada penghujung 2015, di mana Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, mulai mengerahkan tim-nya untuk melakukan uji teknis secara ilmiah dan kajian peraturan perundang-undangan guna mereview izin konsesi PT LUM. Bersama WALHI Riau dan masyarakat, tim yang dibentuk Menteri LHK ini kerja bahu membahu melakukan kerja di lapangan. Buah dari kerja keras ini pun membuahkan hasil positif, di mana pada 14 Juni 2016, Menteri LHK menerbitkan  Keputusan Menteri LHK Nomor: SK.444\/Menlhk\/Setjen\/HPL.1\/6\/2016 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Kehutanan tentang pemberian IUPHHK-HT an PT Lestari Unggul Makmur seluas 10.390 hektare.<\/p>\r\n\r\n

Keberhasilan dorongan pencabutan izin PT LUM tidak membuat perjuangan berhenti. Fase merebut daulat penuh terhadap wilayah kelola terus dilakukan. <\/p>\r\n\r\n

“Pasca pencabutan izin, kami bersepakat dengan masyarakat memilih skema perhutanan sosial dengan mengajukan permohonan hutan desa kepada Kementerian LHK. Berbagai tahapan dan proses administrasi kami tempuh guna memastikan pencabutan izin PT LUM tidak digantikan dengan penerbitan izin lainnya di areal yang sama. Kami tidak mau kemenangan pencabutan izin sekadar menjadi kemenangan kosong,” tambah Riko.<\/p>\r\n\r\n

Beberapa bulan berselang, kabar baikpun diperoleh. Pengajuan areal kerja Hutan Desa oleh 7 Desa di Kecamatan Tebing Tinggi Timur disetujui oleh Kementerian LHK. Sagu, Kelapa, Karet dan Kopi yang menjadi ciri khas 7 Desa ini bisa terus dipertahankan. Ancaman alih fungsi ekosistem hutan rawa gambut Tebing Tingi Timur menjadi kebun kayu akasia atau tanaman monokultur lainnya berhasil dihentikan. Tepat pada  Jumat, 17 Maret 2017, Menteri Siti Nurbaya menyerahkan secara langsung Surat Keputusan Hutan Desa di 7 Desa Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti kepada 7 Kepala Desa yang hadir langsung di Medan. Paling tidak, hal ini menorehkan catatan kecil keberpihakan Negara kepada rakyat yang secara konsisten mempertahankan sumber kehidupan dengan cara yang arif dan bijak berdasarkan tradisi lokalnya.<\/p>\r\n\r\n

“Penyerahan 7 SK Hutan Desa ini harus menjadi momentum perjuangan perluasan wilayah kelola rakyat. 7 SK Hutan Desa dengan luas 10.390 hektare ini hanya catatan kecil dari janji 12,7 juta hektare perhutanan sosial dan 9 juta hektare tanah objek reforma agraria yang dijanjikan Negara untuk didistribusikan secara adil dan lestari kepada rakyat.  Keberhasilan Sungai Tohor dan 6 Desa lainnya ini harus menjadi preseden menegaskan perjuangan merebut daulat-daulat rakyat terhadap wilayah kelola dan sumber penghidupannya,” ujar Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Nasional WALHI yang hadir secara langsung mendampingi masyarakat di Medan.(azf)<\/strong><\/p>\r\n","photo":"\/images\/news\/ilhdg\/21-walhi-ok.jpg","caption":"Direktur Eksekutif WALHI Riau Riko Kurniawan, memberikan keterangan pers kepada wartawan di Sekretariat WALHI Riau di Pekanbaru, Senin (20\/3\/2017)."}]






[Ikuti Terus Detakindonesia.co.id Melalui Sosial Media]






Berita Lainnya...

Tulis Komentar