BUKAN MENEMBAK DI TEMPAT PELAKU PEMBAKAR HUTAN DAN LAHAN

Dansatgas Harusnya ‘Menembak’ Lemahnya Penegakan Hukum Terhadap Korporasi

Di Baca : 4943 Kali
Dokumen Jikalahari

Hingga kini, perusahaan – perusahaan ini tak juga di proses secara hukum. Paska kebakaran hebat pada 2015, Polda Riau mengambil langkah berani menetapkan 18 korporasi dan 95 orang sebagai tersangka. Namun secara bertahap pada 2016 Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) terhadap 15 korporasi diterbitkan.

“Korporasi tidak jera melakukan pembakaran hutan dan lahan karena lemahnya penegakan hukum terhadap korporasi, bahkan ketika sudah masuk proses peradilan, hukuman yang diberikan juga tidak maksimal, sehingga efek jera dan memiskinkan korporasi tidak benar-benar berdampak, akibatnya hutan dan gambut terus terbakar dan akibatkan kerusakan lingkungan yang sangat masif,” kata Made Ali.

“APP Group menginvestasikan US$ 3,8 juta atau setara Rp52,6 miliar untuk persiapan Asian Games , jumlah ini tidak setara dengan kerusakan lingkungan yang diakibatkan pembakaran hutan dan lahan serta kerusakan gambut di areal korporasi yang terafiliasi dengan APP,” kata Made Ali.

Keuntungan bagi korporasi membuka lahan dengan cara bakar sangat besar dibandingkan membuka lahan dengan cara konvensional. Menurut kesaksian Ahli Kebakaran Hutan dan Lahan dalam persidangan perkara karhutla di Riau, Prof Dr Bambang Hero Saharjo MAgr, untuk membuka dan membersihkan lahan dengan cara bakar hanya memerlukan biaya Rp5 – 10 juta per hektar. Namun jika menggunakan alat berat dan zat-zat kimia lainnya, butuh biaya mencapai Rp45 – 50 juta per hektare.

Lemahnya Komitmen Pemerintah Menjalankan Renaksi GNPSDA KPK dan Renaksi PK

Persoalan kebakaran hutan dan lahan di Riau tidak hanya menyoal munculnya titik api lalu wara-wiri melakukan pemadaman. Seharusnya pemerintah melakukan perbaikan di sektor hulu dengan mempertegas peraturan dan memperbaiki sistem tata kelola lingkungan hidup. “Sudah banyak peraturan dan rencana aksi yang dibuat, tapi minim realisasi dari pemerintah,” kata Made Ali.

Pada 2014 Gubenur Riau Aryadjuliandi Rachman bersama KPK menandatangani nota kesepakatan menjalankan rencana aksi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA) – KPK di Riau. Fokus utama GNPSDA-KPK terkait (1) penyelesaian pengukuhan kawasan hutan, penataan ruang dan wilayah administrasi, (2) penataan perizinan kehutanan dan perkebunan, (3) perluasan wilayah kelola masyarakat, (4) penyelesaian konflik kawasan hutan, (5) penguatan instrumen lingkungan hidup dalam perlindungan hutan dan (6) membangun sistem pengendalian anti korupsi.

Keenam fokus GNPSDA – KPK dikembangkan oleh Andi Rachman bersama pemerintah daerah dan kabupaten di Riau menjadi 19 rencana aksi. Salah satu di antaranya melakukan review izin bagi korporasi yang di audit oleh tim UKP4 yang dinilai tidak patuh karena tidak memiliki sarana dan prasarana serta sistem memadai untuk pencegahan dan penanggulangan karhutla di konsesinya. 

Komitmen terbaru, Pemerintah Provinsi Riau menyusun Rencana Aksi Pencegahan Korupsi yang akan dilaksanakan pada 2018 – 2019. Untuk sektor kehutanan, Pemprov Riau akan melakukan pengawasan dan pengendalian hutan dengan memastikan dilakukannya penegakan hukum lingkungan bagi pemegang izin yang melanggar ketentuan. 

“Jika renaksi GNPSDA KPK dan renaksi PK ini dijalankan, perbaikan tata kelola lingkungan dan kehutanan di Riau akan berjalan,” kata Made Ali.

Jikalahari merekomendasikan kepada:

1. Panglima TNI memecat Dansatgas Brigjen TNI Sonny Aprianto SE MM dari Danrem 031/Wira Bima karena pernyataannya bertentangan dengan prinsip HAM dan hukum Indonesia. 

2. Kapolri segera menaikkan ke penyidikan 49 korporasi pelaku karhutla pada 2014 – 2016.

3. Mendagri mengambil alih tugas Gubernur Riau karena telah gagal menghentikan karhutla di Riau.(rls/di)






[Ikuti Terus Detakindonesia.co.id Melalui Sosial Media]






Berita Lainnya...

Tulis Komentar