20.000 BURUH HTI AKAN PHK MASSAL DI RIAU

PT IKPP dan PT RAPP Kekurangan Bahan Baku 9,5 Juta M3 per Tahun

Di Baca : 2990 Kali

[{"body":"

Pekanbaru, Detak Indonesia<\/strong>--Seluas 526.000 hektare lahan Hutan Tanaman Industri (HTI) di Provinsi Riau yang sudah tertanam tanaman industri di lahan gambut selama ini dan itu merupakan kawasan produksi.<\/p>\r\n\r\n

Tapi setelah keluarnya regulasi dari Pemerintah RI dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kemen LHK) RI bahwa dari 526.000 hektare itu akan berubah fungsi menjadi fungsi lindung seluas 398.000 hektare atau sama dengan 76 persen akan berubah menjadi fungsi lindung.<\/p>\r\n\r\n

Demikian dikatakan Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Komda Riau Muller Tampubolon kepada Detak Indonesia.com <\/em>seputar isu regulasi hutan produksi (HP) menjadi fungsi lindung, usai acara buka puasa bersama PT Sumatera Riang Lestari (PT SRL) dengan mitra dan jajaran media di Hotel Pangeran Jalan Sudirman Pekanbaru, Rabu malam (14\/6\/2017).<\/p>\r\n\r\n

Menurut Muller, kalau dihitung dari luas fungsi lindung 398.000 hektare itu kalau dihitung produksi per tahun hampir 9,5 juta meter kubik. Jadi akan kekurangan bahan baku dua pabrik kertas di Riau ini yakni PT Indah Kiat Pulp and Paper (PT IKPP) dan PT Riau Andalan Pulp and Paper (PT RAPP) 9,5 juta meter kubik kayu setiap tahun.<\/p>\r\n\r\n

"Jadi kalau dihitung dari situ, kedua pabrik kertas besar di Indonesia ini harus mencari solusi. Apakah import kayu dari luar negeri atau dari daerah lain. Nggak mungkin kedua pabrik ini kita tutup," kata Muller Tampubolon.<\/p>\r\n\r\n

 <\/p>\r\n\r\n


\r\n <\/p>\r\n","photo":"\/images\/news\/ebuw1vlauk\/14-muller-tampubolon-aphi-riauok.jpg","caption":"Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Komda Provinsi Riau, Muller Tampubolon."},{"body":"

Itulah diharapkan kepada Pemerintah kalau bisa ditinjau kembali atau direvisi pasal-pasal yang masih bisa untuk tetap dikelola gambut dengan baik.<\/p>\r\n\r\n

Sebagaimana Undang-Undang 41\/1999 bahwa lahan 526.000 hektare itu dulunya sudah ditetapkan sebagai hutan produksi. Kenapa bisa tiba-tiba dengan Permen ini berubah menjadi fungsi lindung. Jadi perlu dicermatilah supaya lebih bagus ke depannya.<\/p>\r\n\r\n

Menurut Muller Tampubolon bahwa Permen nya sudah keluar seperti PP 71 diubah menjadi PP 57. Kemudian ada turunan dari PP 57 itu Permen LHK Nomor 14, 15, 16, dan 17 dan pada yang Permen LHK Nomor 17 ini mungkin yang bisa dimohon kepada Pemerintah ada peninjauan. Karena perubahannya tadi yang dulunya budidaya berubah jadi fungsi lindung. Bagaimana kalau tetap bisa dikelola supaya perusahaan ini bisa berjalan dengan baik. "Itu permintaan kita," tegas muller.<\/p>\r\n\r\n

Masalah kawasan lindung tepi sungai atau tepi laut menurut Muller selama itu peraturannya sudah dilaksanakan dengan baik. Ada yang 250 meter dari sungai dan ada yang 500 meter, itu tetap jalan. Tapi ini yang dulunya sudah ditetapkan sebagai Hutan Produksi (HP) diubah lagi jadi fungsi lindung. Jadi ini sebenarnya masalahnya.<\/p>\r\n\r\n

Uji Materi untuk masalah ini kata Muller belum dilakukan di Mahkamah Konstitusi (MK). Yang ada dilakukan kemarin itu di MK dari APHI dan GAPKI mencoba uji materi Undang-Undang 32 dan Undang-Undang 41 tapi dicabut lagi mungkin karena ada sesuatu hal dan kita kurang paham karena itu di Jakarta pusat.<\/p>\r\n\r\n

Ditanya apakah karena adanya perlawanan dari LSM atau NGO lingkungan, menurut Muller hal itu belum tahu pasti. Dan ketika ditanya wartawan lagi mungkin saat mengeluarkan izinnya di lahan gambut dulunya izinnya ada masalah.<\/p>\r\n\r\n

 <\/p>\r\n","photo":"\/images\/news\/ebuw1vlauk\/14-hti2-400.jpg","caption":""},{"body":"

Menanggapi hal ini Muller menegaskan masalah izin ini sebenarnya tidak bermasalah juga. Karena setiap izin yang diberikan untuk HTI ini keluar pasti itu ada rekomendasi dari Pemerintah Daerah dalam hal ini Gubernur dan bupati, baru ditetapkan sebagai kawasan hutan yang bisa dikelola di bidang kehutanan, itu sebenarnya.<\/p>\r\n\r\n

Ditambahkan Muller, ada 44 unit manajemen di Riau yang mengelola HTI. Setelah ada perubahan ini maka perusahaan itu akan banyak yang tutup nanti. Yang luasannya kecil itu hampir 100 persen menjadi fungsi lindung nanti. Untuk PT Sumatera Riang Lestari (PT SRL) sendiri 80 persen lahannya yang sudah tertanam itu akan menjadi fungsi lindung nantinya.<\/p>\r\n\r\n

Ditanya wartawan bahwa dari dulu sudah ada aturan Undang-Undang bahwa kawasan hutan gambut yang ketebalan gambutnya minus 3 meter lebih harus dilindungi. Menanggapi ini menurut Muller bahwa pendapat para pakar gambut kawasan lindung gambut itu masih bisa dikelola dan ada yang menyatakan tidak bisa dikelola. Jadi di sini perlu ada kajian yang mendalam. Jadi sekarang aturannya ketebalan gambutnya 0,4 meter bukan minus 3 meter lagi.<\/p>\r\n\r\n

Masalah tenaga kerja (naker), khusus di hulunya di HTI nya saja jika regulasi ini tetap diterapkan Pemerintah\/Kemen LHK RI, maka itu berdampak serius lebih kurang 20.000 naker di Riau ini akan dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Itu karyawan langsung dan tidak langsung. Belum sampai ke keluarga dihitung. Pada umumnya yang akan di PHK ini adalah naker lokal.<\/p>\r\n\r\n

Dan juga nanti imbasnya kerja sama dengan berbagai pihak yang sudah dilakukan selama ini dengan masyarakat termasuk CSR itu tidak dapat lagi dan CSR nya pun nanti tidak ada lagi.<\/p>\r\n\r\n

"Kalau HTI saya ketepatan dia di Mineral Soil, PT Nusa Wana Raya (PT NWR) Saya direkturnya di situ. Lokasi ini tidak kena regulasi itu karena lokasinya di mineral soil, bukan di kawasan gambut di kabupaten Pelalawan, Riau," ujar Muller Tampubolon.(azf)<\/strong><\/p>\r\n","photo":"\/images\/news\/ebuw1vlauk\/14-gambut400.jpg","caption":""}]






[Ikuti Terus Detakindonesia.co.id Melalui Sosial Media]






Berita Lainnya...

Tulis Komentar