Mengenang 20 Tahun Gempa Tsunami Aceh 26 Desember 2004

Tanggal 31 Desember 2004 sekira pukul 23.00 WIB tengah malam, rombongan kami sudah sampai di Kota Banda Aceh, pasca gempa tsunami 9,3 scala Richter mengguncang Aceh 26 Desember 2004 sekira pukul 08.00 WIB.
Artinya, lima hari setelah kejadian dahsyat itu, rombongan kami telah tiba di kota yang hancur lebur bak kiamat Banda Aceh. Ngeri, begitu sampai tengah malam suasana Kota Banda Aceh gelap gulita. Menurut catatan PBB korban meninggal dunia 220.000 jiwa dan bencana itu dirasakan oleh 15 negara.
Kami berhenti sejenak di atas jembatan, memandangi kota yang gelap gulita. Hanya nampak setitik cahaya lampu dari dalam Masjid Raya Baitur Rahman Banda Aceh. Rupanya cahaya itu berasal dari mesin genset yang dibawa truk PLN dari Kota Padang yang kami ketemu ngopi di Kota Langsa pada siang sebelumnya. Saya bertanya dijawab dari PLN Kota Padang bawa mesin genset. Kami sempat ngopi sejenak di pinggiran Kota Langsa Aceh di pesisir timur Banda Aceh yang tak terdampak tsunami.

Payung Masjid Raya Baitur Rahman Banda Aceh yang kuat dan kukuh.
Kawan-kawan ngopi steng (setengah gelas) dan ada satu gelas. Dulu satu gelas kopi di Langsa dibandrol Rp750. Tujuan kami ke Banda Aceh lima hari setelah bencana gempa tsunami adalah membawa bantuan 10 truk sembako untuk korban bencana gempa tsunami Aceh. Bantuan itu sumbangan dari masyarakat Riau. Lima truk dari Korem 031/ Wira Bima Pekanbaru, dan lima truk dikoordinir Riau Pos Grup sumbangan masyarakat Riau.
Di Langsa siang hari sebelum sampai ke Banda Aceh truk bantuan yang kami bawa mengisi BBM di SPBU Langsa. Setelah terisi bergerak jalan lagi. Sampai di Idirayeuk Aceh Timur senjanya kami turunkan bantuan. Rupanya kawasan Idirayeuk Aceh Timur ini juga banyak pengungsi ditampung ditenda-tenda pengunsian. Walaupun sumber gempa tsunami dari arah barat, namun bagian timur Aceh juga terdampak.

PLTD yang dilempar ombak tsunami dari pantai ke daratan kini jadi museum.
Tulis Komentar