Zainul Akmal SH MH

Surati Pengadilan Negeri Pasir Pengaraian

Di Baca : 2049 Kali

Pasir Pengaraian, Detak Indonesia--Dosen Fakultas Hukum Universitas Riau, Zainul Akmal SH MH menyurati Pengadilan Negeri Pasir Pengaraian Kabupaten Rokan Hulu Riau.

Menurut Zainul, berdasarkan fakta persidangan Irwan alias Iwan bin Zainal  adalah seorang anak berusia 20 tahun yang menjadi kepala keluarga karena Ibunya Janda. Iwan bekerja sebagai petani yang melakukan pembakaran lahan seluas 0,3 hektare.

Pembakaran dilakukan dengan cara menumpukkan kayu tunggul dan ranting-rangting dalam beberapa tumpuk. Tujuan pembakaran untuk menanam padi dan sayur-sayuran.
Berdasarkan hal di atas Iwan dituntut dengan dakwaan Pasal 108 jo Pasal 56 ayat (1) UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. 

Jaksa Penuntut Umum (JPU) bependapat bahwa Iwan telah melakukan tindak pidana sebagai pelaku usaha perkebunan yang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar yang ada pada Pasal 108 jo Pasal 56 ayat (1). Dasar JPU menuntut Iwan sebagai berikut: pertama Iwan adalah seorang Pekebun.

Kedua Iwan membakar beberapa tumpukan/kumpulan ranting kayu dan tunggul kayu  untuk membersihkan lahan, ketiga adanya usaha memadamkan api dari tumpukan/unggukan yang dibakar iwan oleh polisi, keempat Iwan tidak ada izin dari pihak berwenang, kelima bukti surat keterangan ahli kebakaran hutan dan lahan Bambang Hero Saharjo tanggal 27 September 2019 yang tidak dikuatkan dengan keterangan ahli dipersidangan. Keenam lahan yang rusak akibat terbakar seluas 0,3 hektare.

Melihat fakta persidangan dan bagaimana cara JPU menuntut Iwan ada beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan oleh Yang Mulia sebagai
argumentasi Amicus Curiae :
Argumentasi Peratama
UU yang bersifat spesialis dan berhubungan dengan larangan membakar ada tiga, yaitu UU No. 14 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan dan UU No. 39 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Tiga UU ini, tidak bisa dipandang terpisah antara satu dengan yang lainnya, dan juga tidak bisa dipandang yang satu lebih tinggi dari yang lainnya atau yang satu menegasi/meniadakan yang lainnya, namun ketiga UU memiliki spesialisasi tersendiri. Hal yang perlu diperhatikan adalah di antara ketiga UU ini yang lebih spesipik dan menjadi induk tentang pengaturan larangan membakar. 

UU yang lain yang juga mengatur tentang larangan membakar, harus diselaraskan serta disesuaikan dengan undang-undang yang lebih spesipik dalam mengatur larangan membakar.
UU No. 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan bertujuan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia dengan menjadikan usaha perkebunan sebagai alat membangun perekonomian. 

UU Perkebunan adalah UU spesialis tentang perkebunan. UU No. 39 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, bertujuan untuk menjaga kualitas lingkungan hidup yang baik sehingga bisa melindungi seluruh ekosistem. UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah spesialis tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Larangan membakar bertujuan untuk melindungi dan melestari lingkungan hidup bukan untuk melarang orang berkebun atau bertani, oleh sebab itu UU No. 14 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No. 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan tidak bisa dipisahkan dengan UU No. 39 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 

Tuntutan JPU yang menggunakan Pasal 56 ayat (1) UU No. 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan seharusnya dipandang terhubung dengan Pasal 69 ayat (2) UU No. 39 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Berdasarkan Pasal 69 ayat (2) UU No. 39 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan, “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing”. 

Pada ayat (1) huruf h Pasal 69 memang dilarang membuka lahan dengan cara membakar, namun pada ayat (2) ada penekanan bahwa penegakan hukum terhadap larangan membakar lahan harus memperhatikan kearifan lokal yang ada di daerah. Dipertegas lagi pada penjelasan ayat (2) bahwa, “kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektar per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.

Berdasarkan Pasal 69 ayat (2) seseorang diperbolehkan membakar lahan, asalkan syarat sebagai kearifan lokal yang tercantum dalam UU No. 32 Tahun 2009 terpenuhi,  adapun syaratnya sebagai berikut: a. Pembakaran lahan dilakukan dengan luas lahan maksimal 2 hektar. b. Pelaku yang akan membakar  lahan 2 hektare tersebut, tidak lebih dari satu kepala keluarga. c. Tujuan pembakaran untuk penanaman jenis tanaman varietas lokal. c. Lahan yang akan dibakar harus di kelilingi sekat bakar, agar api tidak menjalar ke lahan lainnya.
Larangan membakar bagi Pekebun, bisa dikecualikan apabila sesuai dengan kearifan lokal, asalkan pekebun menanam tanaman varietas lokal (padi, sayur-sayuran dan tanaman lainnya yang bersifat lokal).

Berdasarkan fakta persidangan, bahwa Iwan adalah petani lokal yang akan menanam padi dan sayur-sayuran yang merupakan varietas lokal. Iwan adalah kepala keluarga dengan tanggungan ibunya seorang janda. Iwan hanya membakar 0,3 hektar pada saat ditangkap sesuai dengan tuntutan ganti rugi JPU. Iwan membakar dengan cara mengumpulkan/menumpukan ranting kayu dan tunggul kayu dalam beberapa tumpukan dan sudah membuat sekat bakar. 

Tanpa ada sekatpun, jika membakar dengan cara mengumpulkan/menumpukan ranting kayu dan tunggul kayu menjadi beberapa tumpuk, maka dengan sendirinya sudah ada sekat antara yang dibakar dengan lahan lainnya. Sekat bakar yang menjadi lahan pembatas antara yang dibakar dengan lahan lainnya tidak harus dalam bentuk kanal, karena lahan tanah keras yang berarti bukan gambut tidak sama dengan lahan gambut yang mudah menjalar.

Pembatas dalam bentuk kanal/parit hanya digunakan dalam proses membakar lahan gambut yang dangkal. Iwan membakar di tanah keras bukan lahan gambut. Hutan yang ada di sekitar lahan yang dibakar tidaklah berbahaya, karena lahan yang dibakar adalah tanah keras dan bukan gambut serta sudah ada sekat bakar, sehingga sangat kecil kemungkinan akan menjalar ditambah lagi Iwan mengawasi lahan yang dibakarnya dan api pada saat para penegak hukum datang sudah mulai padam.

Argumentasi kedua
Tidak adanya izin untuk membakar lahan dari pihak berwenang, tidak menyebabkan Iwan bisa dituntut secara pidana. Secara subtansi Pasal 69 ayat (2) UU No. 39 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sudah membolehkan petani membuka lahan dengan cara membakar asalkan sesuai dengan “kearifan lokal” sebagaimana yang dimaksud pada penjelasan Pasal 69 ayat (2). 

Permasalahan tidak adanya izin adalah perkara administrasi, sehingga hukumannya harus berdasarkan ketentuan administrasi pada Permen LH No. 10 Tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup.
Disebabkan tidak ada sanksi dari Permen LH tersebut, yang mengatur tentang perlunya izin membakar, maka Iwan tidak layak juga diberi sanksi secara administrasi.

Argumentasi ketiga
Berdasarkan Keputusan Mahkamah Agung Nomor. 036/KMA/SK/II/2013 Tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup, BAB V bagian C. Pembuktian Tindak Pidana Lingkungan, menjelaskan bahwa, “Alat bukti surat hasil labroratorium, dituangkan dalam bentuk tertulis dan dikuatkan dengan keterangan ahli dipersidangan“. 

Melihat fakta persidangan, dengan tidak hadirnya ahli Bambang Hero Saharjo, maka alat bukti berupa surat hasil laboratorium yang dijadikan JPU sebagai dasar untuk menuntut Iwan tidak mendapatkan penguatan. 
Pembacaan keterangan ahli yang tidak menghadiri persidangan tidak memiliki dasar hukum, karena saksi dan ahli memiliki pengertian berbeda.

Argumentasi keempat
Tentang luas lahan, JPU tidak konsisten. Berdasarkan surat keterangan ahli yang dimilikinya, perkiraan luas lahan yang dibakar adalah 0,7 hektare namun dalam rangka pemulihan lahan yang rusak hanya untuk luas 0,3 hektare. Berdasarkan tuntutan tentang perlunya pemulihan lahan seluas 0,3 hektar, maka lahan 0,4 hektar dari 0,7 hektar luas lahan keseluruhan yang diperkirakan jaksa telah dibakar Iwan, patut diyakini telah kembali normal dan tidak rusak.

Berdasarkan Iwan membakar lahanya 0,7 hektar dengan cara membagi tiga kali proses pembakaran / tahap, dalam jangka waktu lebih kurang dua bulan dengan metode kearifan lokal, maka patut diyakini bahwa dugaan terjadi perusakan lingkungan hidup tidak bisa dibenarkan. Sebab dua tahap pembakaran sebelum Iwan ditangkap telah kembali normal dan membaik dan tahap ketiga pada saat Iwan ditangkap patut diyakini juga sudah membaik. 

Argumentasi kelima jika dipaksakan perbuatan Iwan sebagai perbuatan yang melanggar Pasal 56 ayat (1) UU No. 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan, maka hak-hak masyarakat di daerah-daerah yang hidup dengan cara bertani akan dilanggar oleh negara. Petani akan ketakutan untuk bertani dan melihat kondisi sosial petani pada umumnya, sebagian besarnya petani tidak sanggup menggunakan alat berat untuk membersihkan lahan. Kearifan lokal yang merupakan salah satu kekayan Indonesia juga akan terkikis. Keterpurukan ekonomi negara juga akan semakin parah disebabkan petani tidak bisa bertani dan kebutuhan pokokpun tidak terpenuhi.

Keberlangsungan hidup manusia akan terancam dan hal ini bertentangan dengan asas serta tujuan perlindungan pengelolaan lingkungan hidup pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 32 Tahun 2009.
Perlindungan terhadap lingkunan hidup juga termasuk perlindungan terhadap manusia. Pelestarian fungsi lingkungan hidup merupakan rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan lainnya.

Prinsip – prinsip penaatan dan penegakan hukum lingkungan harus berdasarkan asas-asas kebijakan lingkungan. Salah satunya asas Keadilan Pemanfaatan Sumber Daya (Equitable Utilization of Shared Resources). Prinsip ini menekankan pentingnya alokasi penggunaan sumber daya alam yang terbatas secara berkelanjutan dan berkeadilan, berdasarkan pada faktor kebutuhan, penggunaan oleh generasi sebelumnya, hak kepemilikan/pengusahaan, dan kepentingan.

Iwan selaku petani tidak menggunakan sumber daya alam dengan cara berlebihan dan sesuai dengan kebutuhannya. Iwan juga tidak meninggalkan kearifan lokal dalam mengelola lahannya. JPU sepertinya tidak jeli melihat permasalahan yang menjadi argumentasi Amicus Curiae dalam membuat surat tuntutan, sehingga membuat tuntutan yang sangat jauh dari nilai-nilai keadilan. 

Tentunya Yang Mulia telah tahu bahwa, “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Amicus Curiae berharap putusan dalam kasus Iwan bukan hanya menegakkan hukum tetapi juga keadilan.
Amirul Mukminin Ali Bin Abi Thalib berkata,:
”Keadilan juga mempunyai empat aspek, pertama pemahaman yang tajam, kedua pengetahuan yang mendalam, ketiga kemampuan yang prima untuk memutuskan, keempat dan ketabahan yang kukuh.

Maka barang siapa yang memahami akan mendapatkan kedalaman pengetahuan.Barang siapa yang mendapatkan kedalaman pengetahuan, maka akan keluar darinya keputusan-keputusan hukum yang adil. Dan barang siapa yang berlaku tabah, maka dia tidak akan melakukan perbuatan yang jahat dalam urusannya dan akan menjalani kehidupan yang terpuji diantara manusia.”

Demikianlah argumentasi Amicus Curiae yang pengaju sampaikan. Semoga bisa memberikan pertimbangan bagi Yang Mulia untuk memutuskan Perkara No. Reg: 311/Pid.B/LH/2019/PN.Prp Terdakwa: Irwan als Iwan bin Zainal dengan seadil-adilnya.
Pekanbaru, 28 Februari 2020. Hormat saya, Zainul Akmal SH MH.(ary)






[Ikuti Terus Detakindonesia.co.id Melalui Sosial Media]






Berita Lainnya...

Tulis Komentar