Ketum Santri Tani NU : 

Aparat Penegak Hukum Harus Kawal UUCK dan Tak Ada Lagi Pidana

Di Baca : 2202 Kali
Ketum Santri Tani NU Kiyai T Rusli Ahmad (kiri) dan DR Moeldoko (kanan)

Intinya kata Sofyan, kalau kebun sawit yang ada di dalam klaim kawasan hutan produksi, baik itu di HPT, HP maupun HPK yang sudah punya izin IUP, atau Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB), sesuai Pasal 110A, pekebun dikasih waktu tiga tahun sejak UUCK terbit (November 2020) untuk memenuhi persyaratan yang ditentukan. Jika belum punya izin atau STDB, silahkan melalui Pasal 110B, semuanya sudah bersolusi, tidak perlu dipolemikkan, malah semua harus mensyukuri lahirnya UU Cipta Kerja ini, untuk kepastian hukum dan keberlanjutan usaha.

Kalau persyaratan sudah terpenuhi dan lolos verifikasi, maka pekebun akan dapat persetujuan pelepasan kawasan hutan atau tipologi satu daur, tergantung tipologinya. Tapi kalau di Hutan Lindung atau Hutan Konservasi, pekebun cuma bisa melanjutkan usahanya itu selama 15 tahun. 

Lantas, bagi pekebun yang sudah menjalankan usahanya sebelum tahun 2018, pola penyelesaiannya tetap memakai pasal 110A. Soalnya aturan teknis STDB baru terbit pada 2018 oleh Dirjen Perkebunan. 

Satu lagi yang juga sangat penting adalah soal tumpang tindih kebun sawit dengan izin perusahaan. Kalau izin lebih dulu dari pekebun, maka perusahaan akan merangkul pekebun untuk menjadi mitra. Namun jika sebaliknya, maka luas izin perusahaan dikurangi, jadi semuanya sudah bersolusi dan semua harus memahaminya, tanpa kecuali," ujar Sofyan.






[Ikuti Terus Detakindonesia.co.id Melalui Sosial Media]






Berita Lainnya...

Tulis Komentar