LESUKAH RITEL INDONESIA?

Tutupnya Store Matahari, Apakah Akibat Ekspansi Toko Online?

Di Baca : 2940 Kali

[{"body":"

Jakarta, Detak Indonesia<\/strong>--Informasi tentang lesunya sektor ritel Indonesia yang ramai dibicarakan pertengahan 2017 ini ditandai antara lain dengan kosongnya toko-toko di Glodok yang dulu dikenal sebagai pusat elektronik.<\/p>\r\n\r\n

Terakhir, PT Matahari Department Store Tbk (LPPF) menutup dua storenya di Pasaraya Blok M dan Manggarai, Jakarta.<\/p>\r\n\r\n

Ada apa sebenarnya dengan ekonomi Indonesia? Apakah akibat ekspansi toko online mengalahkan ritel?<\/p>\r\n\r\n

Tahun 2017 ini sejumlah gerai ritel banyak yang tutup dan bahkan ada perusahaan yang kolaps seperti 7-Eleven (Sevel). Di beberapa daerah gerai lainnya juga tutup seperti KFC di Mall SKA Pekanbaru, Riau. Hanya beberapa saja yang bertahan. Banyak yang menyebut, penutupan toko ritel ini sebagai dampak berkembangnya toko online, yang mengubah pola belanja masyarakat Indonesia. Apakah sejumlah toko-toko ritel di sejumlah daerah juga akan mengalami hal serupa?<\/p>\r\n\r\n

"Saya sepakat, belanja online memang berkembang pesat. Tapi salah kaprah jika dianggap bahwa anjloknya ritel tahun 2017 ini karena pesatnya belanja online," ujar Ekonom Dradjad Wibowo, kepada pers baru-baru ini.<\/p>\r\n\r\n

Menurut Dradjad di Amerika Serikat (AS) yang menjadi kiblat belanja online dunia saja, penjualan ritel tetap bagus. Pada 2016 misalnya, belanja e-commerce di AS tumbuh 15,6 persen, lebih tinggi dari pertumbuhan 2015 yang 14,6 persen. Pangsa pasar e-commerce terhadap penjualan ritel di luar otomotif dan bahan bakar minyak juga meningkat pesat dari 9,5 persen (2014), 10,5 persen (2015) dan 11,7 persen (2016).<\/p>\r\n\r\n

Pesatnya belanja online itu sama sekali tidak merusak penjualan ritel. Pada 2016 penjualan ritel AS tumbuh 3,3 persen, angka yang tinggi bagi AS.<\/p>\r\n\r\n

Di 2017 ini pertumbuhannya cenderung berkisar 3,5-4,0 persen. Mengingat sekitar 2\/3 dari perekonomian AS tergantung pada belanja konsumsi rumah tangga, kinerja ritel di atas berperan krusial terhadap kuatnya pertumbuhan ekonomi AS.<\/p>\r\n\r\n

Di Inggris pun fenomenanya mirip. Meskipun diwarnai kegaduhan referendum Brexit 23 Juni 2016, penjualan ritel Inggris tetap tumbuh tinggi (untuk ukuran Inggris), yaitu 2 persen, sama dengan 2015. Tahun ini, karena ketidakpastian negosiasi Brexit, pertumbuhan tersebut mungkin turun ke 1,6 persen. Lantas, berapa pertumbuhan penjualan online di Inggris tahun 2016? Hampir 16 persen!<\/p>\r\n\r\n

Indonesia memang mencatat pertumbuhan belanja online tertinggi di dunia, rata-rata sekitar 37 persen per tahun sejak 2013. Tapi ini karena pangsa belanja online di Indonesia masih sangat kecil. Pada 2016, pangsa tersebut baru sekitar 2,2 persen dari penjualan ritel.<\/p>\r\n\r\n

Fakta-fakta di atas membuktikan, perkembangan pesat belanja online tidak otomatis merusak penjualan ritel. Di AS dan Inggris, penjualan ritel tumbuh kira-kira setara dengan laju pertumbuhan ekonominya.<\/p>\r\n\r\n

Data Indonesia memberi gambaran yang mengkhawatirkan. Di 2015, penjualan ritel tumbuh 8 persen, jauh di atas pertumbuhan ekonomi sebesar 4,88 persen.<\/p>\r\n\r\n

Pada 2016, penjualan ritel tumbuh 9 persen, lagi-lagi jauh di atas pertumbuhan ekonomi yang 5,02 persen. Semester I-2017 ini, data AC Nielsen menyebut penjualan ritel hanya tumbuh 3,7 persen. Ini di bawah pertumbuhan ekonomi yang mungkin 5 persen lebih.<\/p>\r\n\r\n

"Jadi, sumber masalahnya bukan pada belanja online, tapi ada faktor lain yang lebih fundamental," tegas Dradjad, yang juga Lektor Kepala Perbanas Institute ini.<\/p>\r\n\r\n

Dradjad menduga, konsumen kelas menengah atas memang menahan belanjanya tahun 2017 ini. Ia sering mendengar tentang hal ini dari konsumen yang juga pelaku usaha menengah atas di Jakarta.<\/p>\r\n\r\n

Mereka tidak nyaman dan menunggu, bagaimana pemerintah akan merealisasikan ancaman yang menakutkan mereka terkait amnesti pajak, kartu kredit dan dibukanya rekening bank.<\/p>\r\n\r\n

"Ini baru satu dugaan. Mungkin saja ada faktor lain, seperti pelemahan penjualan di beberapa sektor," kata Dradjad.<\/p>\r\n\r\n

Terpisah, Wakil Ketua Umum Kadin DKI Jakarta, Sarman Simanjorang, mengatakan kepada wartawan ada 4 faktor yang menyebabkan tutupnya toko ritel di Jakarta.<\/p>\r\n\r\n

Pertama soal daya beli masyarakat. Menurut Sarman ada penurunan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir, yang asal usulnya bersumber dari ketidakstabilan perekonomian nasional. Ekonomi hanya mampu tumbuh sekitar 5 persen.<\/p>\r\n\r\n

Kedua adalah soal persaingan antar pusat perbelanjaan yang semakin ketat. Hal ini tidak terlepas dari perkembangan kawasan properti di wilayah baru.<\/p>\r\n\r\n

Ketiga, banyaknya barang-barang atau produk asing yang sejenis, baik secara legal maupun ilegal. Harga yang lebih murah menjadi pilihan bagi konsumen.<\/p>\r\n\r\n

Keempat, pasar e-commerce<\/em>. Berdasarkan data yang didapatkan oleh Sarman baru sekitar 29 persen atau sekitar 26,3 juta jiwa masyarakat yang menjadi konsumen dalam pasar tersebut. Artinya memang belum dianggap sebagai penyebab atas fenomena sekarang, namun harus tetap diantisipasi ke depannya.(azf)<\/strong><\/p>\r\n","photo":"\/images\/news\/5ywfthcbw1\/22-dradjad-wibowook.jpg","caption":"Ekonom Dradjad Wibowo. (Foto Ist)"}]






[Ikuti Terus Detakindonesia.co.id Melalui Sosial Media]






Berita Lainnya...

Tulis Komentar