Pekanbaru,  Detak Indonesia<\/strong>--Riau menjadi bagian yang berkontribusi dalam pencapaian 12,7 juta hektare kawasan perhutanan sosial di seluruh nusantara. Perhutanan sosial sekaligus menjadi jalan keluar dari kebuntuan konflik pengelolaan sumber daya hutan di Riau<\/p>\r\n\r\n

Konflik pengelolaan sumber daya hutan yang telah berlangsung di Riau selama ini membutuhkan solusi. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah mendorong skema perhutanan sosial.<\/p>\r\n\r\n

Hal tersebut diungkapkan Koordinator Koalisi Rakyat Riau, AZ Fachri Yasin kepada Detak Indonesia.co.id <\/em>Senin (27\/11\/2017). <\/p>\r\n\r\n

Menurutnya, ruang pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan sudah terbuka lebar.  Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.83\/MENLHK\/SETJEN\/KUM.1\/10\/2016 tentang Perhutanan Sosial mestinya menjadi peluang yang dapat dimanfaatkan masyarakat.<\/p>\r\n\r\n

“Para pihak mesti berupaya mendorong ini.  Bukan hanya untuk pencapaian target nasional, tapi juga menjadi bagian dari jalan keluar konflik pengelolaan hutan,” tegasnya.<\/p>\r\n\r\n

Konflik sumber daya hutan, kata Fachri merupakan persoalan yang hingga saat ini belum tuntas.  Hal ini terjadi lantaran penyelesaian konflik belum menyentuh akar persoalan di level tapak.  Akar masalah konflik sendiri terjadi karena adanya ketimpangan pengusaan lahan, khususnya di kawasan hutan.<\/p>\r\n\r\n

Fachri menyampaikan pandangannya menjelang lokakarya Membangun Sinergi Parapihak untuk Percepatan Perhutanan Sosial di Provinsi Riau yang diselenggarakan pada Rabu – Kamis, 29 hingga 30 November 2017.<\/p>\r\n\r\n

Menurut Fachri, para pihak di Riau mesti mencurahkan energi yang sekuat-kuatnya guna pengembangan perhutanan sosial.  Bukan hanya pemerintah, target nasional ini juga mesti didukung oleh kekuatan di luar itu.<\/p>\r\n\r\n

“Sudah banyak contoh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mendorong kegiatan perhutanan sosial di lapangan.  Termasuk pula peranan swasta.  Semuanya mesti bahu-membahu jika ingin menyelamatkan Riau dari kerusakan ekologi yang lebih parah,” paparnya.<\/p>\r\n\r\n

Perhutanan sosial, lanjut Facri, juga akan menjawab tantangan kesejahteraan masyarakat.  Melalui kepastian hak kelola hutan, masyarakat dapat mengembangkan berbagai inisiatif ekonomi.<\/p>\r\n\r\n

Lambannya implementasi perhutanan sosial di Riau tidak lepas dari minimnya peran pemerintah daerah. Indikasinya terlihat dengan belum disahkannya Kelompok Kerja (POKJA) perhutanan sosial pada tingkat provinsi. Berikut pula minimnya informasi perhutanan sosial pada tingkat tapak.<\/p>\r\n\r\n

“Bila dibiarkan terus-menerus, konflik tentu akan terus terjadi,” ujarnya.<\/p>\r\n\r\n

Direktur Sustainable Social Development Partnership (Scale Up), Harry Oktavian menyebutkan angka konflik terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.<\/p>\r\n\r\n

Sejak 2007, setidaknya Scale Up mencatat telah terjadi 526 titik konflik lahan di Riau, mencakup luasan hampir 2,2 juta (tepatnya 2.193.175) hektare lahan.  Angka ini diprediksikan akan terus mengalami peningkatan bila Pemerintah Riau dan Pemerintah Pusat tidak segera melakukan perbaikan.<\/p>\r\n\r\n

“Pada 2016 saja, kami mencatat terjadi 73 konflik di Riau.  34 konflik di antaranya ada di sektor kehutanan, 34 di sektor perkebunan dan lima tapal batas,” ungkapnya.<\/p>\r\n\r\n

Menurut Harry, dengan target 12,7 juta hektare, para pihak mesti melakukan upaya strategis.  Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) menargetkan Riau untuk mengalokasikan 1,4 juta hektare lahan untuk dijadikan areal perhutanan sosial.<\/p>\r\n\r\n

“Dari luasan tersebut, lahan yang sudah mendapatkan pengesahan baru mencapai 38.000 hektare. Jika merujuk pada angka di atas, implementasi perhutanan sosial di Riau belum mencapai 5 persen dari alokasi yang ada,” kata Harry.(azf)<\/p>\r\n\r\n

Petani bertanam dan menakik karet memanfaatkan lahan sekaligus mendukung upaya konservasi dan ekonomi di Kampar, Riau,  Senin (27\/11\/2017). (Foto Syafrizaldi\/ist)<\/p>\r\n\r\n

MINIM PERAN PEMERINTAH
\r\nRiau Darurat Perhutanan Sosial<\/p>\r\n\r\n

Pekanbaru,  Detak Indonesia--Riau menjadi bagian yang berkontribusi dalam pencapaian 12,7 juta hektare kawasan perhutanan sosial di seluruh nusantara. Perhutanan sosial sekaligus menjadi jalan keluar dari kebuntuan konflik pengelolaan sumber daya hutan di Riau<\/p>\r\n\r\n

Konflik pengelolaan sumber daya hutan yang telah berlangsung di Riau selama ini membutuhkan solusi. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah mendorong skema perhutanan sosial.<\/p>\r\n\r\n

Hal tersebut diungkapkan Koordinator Koalisi Rakyat Riau, AZ Fachri Yasin kepada Detak Indonesia.co.id<\/a> Senin (27\/11\/2017). <\/p>\r\n\r\n

Menurutnya, ruang pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan sudah terbuka lebar.  Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.83\/MENLHK\/SETJEN\/KUM.1\/10\/2016 tentang Perhutanan Sosial mestinya menjadi peluang yang dapat dimanfaatkan masyarakat.<\/p>\r\n\r\n

“Para pihak mesti berupaya mendorong ini.  Bukan hanya untuk pencapaian target nasional, tapi juga menjadi bagian dari jalan keluar konflik pengelolaan hutan,” tegasnya.<\/p>\r\n\r\n

Konflik sumber daya hutan, kata Fachri merupakan persoalan yang hingga saat ini belum tuntas.  Hal ini terjadi lantaran penyelesaian konflik belum menyentuh akar persoalan di level tapak.  Akar masalah konflik sendiri terjadi karena adanya ketimpangan pengusaan lahan, khususnya di kawasan hutan.<\/p>\r\n\r\n

Fachri menyampaikan pandangannya menjelang lokakarya Membangun Sinergi Parapihak untuk Percepatan Perhutanan Sosial di Provinsi Riau yang diselenggarakan pada Rabu – Kamis, 29 hingga 30 November 2017.<\/p>\r\n\r\n

Menurut Fachri, para pihak di Riau mesti mencurahkan energi yang sekuat-kuatnya guna pengembangan perhutanan sosial.  Bukan hanya pemerintah, target nasional ini juga mesti didukung oleh kekuatan di luar itu.<\/p>\r\n\r\n

“Sudah banyak contoh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mendorong kegiatan perhutanan sosial di lapangan.  Termasuk pula peranan swasta.  Semuanya mesti bahu-membahu jika ingin menyelamatkan Riau dari kerusakan ekologi yang lebih parah,” paparnya.<\/p>\r\n\r\n

Perhutanan sosial, lanjut Facri, juga akan menjawab tantangan kesejahteraan masyarakat.  Melalui kepastian hak kelola hutan, masyarakat dapat mengembangkan berbagai inisiatif ekonomi.<\/p>\r\n\r\n

Lambannya implementasi perhutanan sosial di Riau tidak lepas dari minimnya peran pemerintah daerah. Indikasinya terlihat dengan belum disahkannya Kelompok Kerja (POKJA) perhutanan sosial pada tingkat provinsi. Berikut pula minimnya informasi perhutanan sosial pada tingkat tapak.<\/p>\r\n\r\n

“Bila dibiarkan terus-menerus, konflik tentu akan terus terjadi,” ujarnya.<\/p>\r\n\r\n

Direktur Sustainable Social Development Partnership (Scale Up), Harry Oktavian menyebutkan angka konflik terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.<\/p>\r\n\r\n

Sejak 2007, setidaknya Scale Up mencatat telah terjadi 526 titik konflik lahan di Riau, mencakup luasan hampir 2,2 juta (tepatnya 2.193.175) hektare lahan.  Angka ini diprediksikan akan terus mengalami peningkatan bila Pemerintah Riau dan Pemerintah Pusat tidak segera melakukan perbaikan.<\/p>\r\n\r\n

“Pada 2016 saja, kami mencatat terjadi 73 konflik di Riau.  34 konflik di antaranya ada di sektor kehutanan, 34 di sektor perkebunan dan lima tapal batas,” ungkapnya.<\/p>\r\n\r\n

Menurut Harry, dengan target 12,7 juta hektare, para pihak mesti melakukan upaya strategis.  Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) menargetkan Riau untuk mengalokasikan 1,4 juta hektare lahan untuk dijadikan areal perhutanan sosial.<\/p>\r\n\r\n

“Dari luasan tersebut, lahan yang sudah mendapatkan pengesahan baru mencapai 38.000 hektare. Jika merujuk pada angka di atas, implementasi perhutanan sosial di Riau belum mencapai 5 persen dari alokasi yang ada,” kata Harry.(azf)<\/strong><\/p>\r\n\r\n

 <\/p>\r\n","photo":"\/images\/news\/my81z47mcx\/27-karet-ok.jpg","caption":"Petani bertanam dan menakik karet memanfaatkan lahan sekaligus mendukung upaya konservasi dan ekonomi di Kampar, Riau,\u00a0 Senin (27\/11\/2017). (Foto Ist)"}]